Mia tak menyangka, keinginannya untuk pindah sekolah tiba-tiba dikabulkan oleh kedua orang tuanya tanpa drama apapun. Apalagi saat dirinya meminta untuk dipindahkan pada sekolah yang memiliki asrama. Kedua orang tuanya menyetujui itu, kemudian mengirim Mia ke pesantren milik keluarga dari teman ibunya, setelah memberikan beberapa list nama sekolah dan pesantren yang diajukan kedua orang tuanya waktu itu.
Mia butuh yang namanya ketenangan, serta pendalaman agama yang menurutnya kurang. Walau dia harus menerima kembali untuk mengulang kelas saat dipindahkan nanti, Mia tak masalah. Dia juga sudah mempersiapkan semuanya.
Namun dasarnya memang, rencana selalu saja tak pernah sesuai ekspektasi Mia. Dia sempat mengalami kesulitan saat awal mengikuti kurikulum pesantren barunya. Walau Wina—yang dia kenal sebagai teman satu asramanya—dengan senang hati mau mengajari hal-hal baru pada Mia tanpa mengeluh. Dia sangat berterima kasih akan bantuan itu.
Meskipun begitu tetap saja, Mia kini memilih untuk membolos salah satu mata pelajaran bahasa Arab yang selalu sukses membuat kepalanya pening. Mia sebenarnya masih bisa menanggung, karena bagaimanapun dia baru juga dua hari tiba dan mengikuti segala kegiatan dan pembelajaran di sini. Namun tetap saja, Mia perlu menghirup udara segar sebelum kembali menekuni kegiatan barunya. Mia tak ingin menyesal dengan pilihannya.
Tanpa sadar, Mia malah hanyut dengan pikirannya sendiri. Dia baru menyadari kalau sudah berjalan terlalu jauh melewati asrama yang sempat menjadi tujuan awalnya tadi. Kini di sekitarnya hanya ada bangunan-bangunan menjulang tinggi yang sebagian setengah jadi. Entah bagian atasnya masih berbentuk kerangka atau berupa dinding kasar yang belum di perhalus sebelum ke tahap mengecetnya.
Mia berusaha untuk tidak panik saat menyadari kalau dia tersesat kali ini. Ingatannya mengenai rute pesantrennya memang payah, kadang kala membuat Mia sedikit frustasi, seperti sekarang. Jalan setapak yang tadi membawanya sudah tak bisa Mia lihat lagi, di depan sana hanya ada beberapa tanaman liar yang sebagian tumbuh tak terawat. Tak jauh dari Mia berdiri terdapat sebuah pondok besar yang keberadaannya cukup mencolok di tengah-tengah bangunan yang hampir semuanya sudah terbilang berbentuk modern. Walau begitu pondok tersebut masih berdiri kokoh di tengah impitan bangunan tinggi di kanan kirinya. Struktur kayunya pun terlihat kuat, tak keropos seperti yang sempat Mia bayangkan di awal. Karena cukup lelah, Mia putuskan untuk duduk sejenak di sana. Dia pandangi bagian dalam pondok itu dan tak sengaja menemukan pentungan yang biasa orang dulu lakukan sebelum azan terdengar. Mia pikir, mungkin saja pondok ini dulunya merupakan tempat orang-orang beribadah sebelum pindah.
“Eee ... eeegh ....”
Rintihan aneh itu berhasil membuat fokus Mia yang tengah memandangi pondok ini langsung buyar seketika. Keningnya mengerut bingung saat lagi-lagi kembali mendengar rintihan itu yang terdengar jauh lebih serak dari pada sebelumnya.
Mia lantas memilih bangkit berdiri. Kemudian mengedarkan pandangan kearah sekitarnya yang sepi. Rasanya tak lucu kalau harus melihat penampakan di hari yang masih terang benderang seperti ini. Dia bahkan belum mendengar azan ashar berkumandang, karena dengan begitu bisa Mia pastikan waktu belum menjelang malam.
Karena tak ingin berlarut-larut dengan rasa takutnya. Mia memilih untuk berbalik pergi, dia hendak kembali menuju ke arah jalan yang tadi dia lalui walau bisa saja Mia akan kembali tersesat lagi. Itu masih jauh lebih baik dari pada tetap berada di tempat seperti ini dan terus di hantui oleh suara aneh yang bisa saja bukan manusia.
“Eghh ... hiks ... hlo ... ong ....”
Lagi-lagi suara itu kembali terdengar. Kali ini di barengi dengan isak tangisnya juga. Mia jelas ragu untuk memutuskan pergi atau memilih untuk memastikan apapun gerangan yang bersuara tadi. Dia terdiam sejenak selama beberapa saat, sebelum akhirnya memutuskan memilih untuk mengikuti suara hatinya saja.
Mia kemudian membalikkan badan, berjalan dengan pelan mengikuti arah suara yang dia dengar berasal dari belakang gedung kosong tak jauh dari pondok itu. Dia sebisa mungkin untuk tidak menimbulkan suara selain desahan nafas yang coba Mia atur sepelan mungkin, karena jelas Mia takut kalau sampai sosok suara itu malah menyadari kehadirannya dan mungkin juga menariknya untuk ikut.