"Apa?” tanya balik Indah, tampak sekali terkejut. “Di pesantren ini nggak mungkin ada perundungan. Jangan asal ngomong. Kalau ada yang dengar, bisa-bisa kamu yang dapat masalah.”
Mendengar itu Mia mengangguk mengerti. “Perundungan, pembulian atau apapun itu, nggak harus menerus melibatkan tentang kekerasan fisik. Karena di beberapa kasus lain, lidah tak bertulang bisa jadi salah satu penyebab bullying juga.” Mia tersenyum hangat tanpa berniat untuk mengalihkan tatapannya dari dua perempuan yang tak bersuara. “Yang kalian omongin tadi itu udah keterlaluan, baik pada Wina maupun Luna yang jelas udah nggak ada. Aku nggak tahu apa yang buat kalian lakuin hal ini. Entah sebuah kebiasaan atau sekedar cari sensasi saja, hanya kalian yang tahu alasannya.” Mia edarkan pandangannya lagi kearah hampir semua penjuru kantin, lalu berhenti tepat kearah Intan yang balas memandanginya dengan datar sejak tadi. “Karena itu aku tanya lagi. Apa di sini ada perundungan? Bisa saja kan Luna salah satu korbannya?”
Hampir semenit keduanya saling menatap satu sama lain. Seakan menunjukan siapa yang lebih unggul dalam mempertahankan apapun yang ada di pikiran mereka masing-masing. Mia hanya memberikan senyum kecil saat melihat Intan mendadak bangkit berdiri. Dan memilih mengajak Indah yang ekspresi paniknya sudah tak bisa di tutupi lagi.
“Kayaknya ekspektasi ku terlalu berlebihan sama kamu ya, Mia. Ternyata kita memang nggak cocok jadi teman. Yah, nggak masalah sih. Kamu bisa lebih akur dengan orang yang sama levelnya. Semoga pertemanan kalian bisa tahan lama ya, jangan sampai ada salah satu yang berkhianat,” ungkap Intan sebelum mengajak Indah untuk beranjak pergi dari meja mereka.
Mia tak mengatakan apa-apa. Dia hanya melihat saja kepergian dua perempuan itu dari hadapannya. Mia sadar kalau dia sudah mendeklarasikan diri dengan masalah, mengingat untuk hari ini saja sudah ada tiga orang yang secara terang-terangan mengibarkan bendera permusuhan. Pesan ibunya yang meminta Mia untuk bersikap ramah dan memperbanyak teman, sepertinya tak akan mudah dia lakukan di masa depan. Mia tak yakin kalau dirinya tidak akan membuat kedua orang tuanya di landa cemas, mengingat dia yang hobi sekali terlibat dalam masalah. Dia harus menyiapkan alasan dan cara membujuk kedua orang tuanya nanti. Yah, persiapan memang perlu di lakukan ternyata.
“Maaf, Mia. Aku malah buat kamu terlibat dalam masalah. Ini semua jelas salahku, sekali lagi aku minta maaf."
Mia berdecak pelan saat melihat Wina yang terlihat menunduk dalam, kembali mulai menyalahkan diri sendiri. Entah bagaimana perempuan ini hobi sekali melakukan hal tadi.
“Ini bukan sepenuhnya salah kamu kok. Toh, memangnya aku nggak bakalan cocok kalaupun nanti gabung sama mereka. Jadi nggak perlu terbebani, Win. Jangan terlalu di pikirin, malah buang-buang tenaga tahu."
Walau masih tampak ragu, perempuan di hadapan Mia itu lantas mengangguk, dia tersenyum, begitu lega saat melihat Mia yang tak begitu ambil pusing pada perkataan mereka berdua tadi.
"Sebenarnya… dulu kami satu SMP, dan memang temenan dekat. Tapi semenjak masuk kesini, hubungan kami mulai merenggang. Alasannya karena mereka nggak suka ngeliat aku berinteraksi terus menerus sama Luna. Karena memang masalah laki-laki sih. Intan benci banget sama Luna, Intan anggap Luna lah orang yang sudah merebut laki-laki yang dia suka. Cuma karena alasan itu mereka sampai se-bencinya sama Luna," ungkap Wina tiba-tiba. Wajahnya yang sempat murung mulai berubah, dia tersenyum memandang Mia yang masih balas menatapinya. “Terima kasih, Mia. Aku benar-benar bersyukur bisa berteman sama kamu. Aku harap pertemanan kita bisa terus bertahan sampai lama. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih.”
Mia menyeringai geli, “Yah, kembali kasih.” Dia kemudian meminta untuk Wina kembali makan yang memang masih tersisa cukup banyak.."Jangan sampai sakit, Win. Kalau kamu sakit, aku mungkin bakalan susah cari teman ngobrol lagi."