Keramaian yang pertama kali Mia lihat saat membuka kedua matanya, senyum lebar tiba-tiba tertarik dari dua sudut bibirnya. Mia jelas heran, namun perasaan gembira yang dia rasakan nampak sangat nyata. Seakan apa yang di lihatnya bukanlah proyeksi dari mimpi semata.
"Mia .... "
Kepalanya lantas menoleh, senyum yang tadi terpancar perlahan surut saat mendapati sosok familiar yang tengah memandanginya dengan ekspresi wajah yang sama di perlihatkan saat pertemuan pertama mereka. Keramaian kota yang tadi sempat Mia lihat tiba-tiba langsung berubah. Diganti dengan ruangan suram dan berantakan. Seperti ruangan yang sempat Mia lihat menjadi tempat eksekusi seseorang yang dirinya kenal.
Tubuh Luna yang tadinya mematung, perlahan mulai terangkat. Senyum sudah tak ada lagi di wajahnya saat tiba-tiba sebuah tali tambang sudah melilit di leher Luna.
Mia jelas panik, namun tubuhnya sama sekali tak bisa dia gerak sejak tadi. Hanya getaran dan isak tangis yang keluar dari mulut Mia saat melihat tubuh Luna mulai meronta hebat hingga beberapa saat kemudian benar-benar kaku tak bergerak. Mia berusaha untuk menjerit, meminta tolong pada siapapun yang mungkin saja mendengar jerit penuh keputusasaannya ini.
Dia baru saja ingin menyerah, saat tubuhnya mendadak di guncang kasar sampai Mia bangun dengan nafas memburuh. Dia mengerjap bingung lalu memandang Salma yang kini balas memandanginya dengan kesal.
"Capek gue bangunin dari tadi, malah nggak bangun-bangun lu!" gerutu Salma tanpa berniat mengubah ekspresinya. Kemudian kedua tangannya terlipat di atas dada, lalu menunjukan sesuatu dengan dagunya."Sana bangunin temen lu itu, dia ngigau nggak berhenti-henti dari tadi. Berisik banget emang, padahal gue mau tidur."
Tanpa perlu di suruh dua kali, Mia bangkit berdiri. Berjalan menuju tempat tidur Wina yang berada di samping tempat tidurnya walau terdapat skat meja kecil di tengah-tengah mereka. Mia pandangi Wina yang memang terlihat menggigil kedinginan. Wajah Wina yang sejak pagi tadi terlihat pucat kini semakin bertambah pucat saat Mia lihat. Jelas hal itu membuat dirinya panik, lalu menyentuh kening Wina yang bisa dia rasakan panasnya di kulit Mia sendiri.
"Tolong, panggilkan Umi Jihan atau pengurus lain," katanya dengan nada panik. Mia segera bergegas mencari kompres kecil penurun panas yang sudah di stok ibunya sejak Mia memutuskan untuk kemari. Lalu menempelkan benda kecil itu di kening Wina yang panas sekali. "Cepat panggil Umi Jihan, Salma!"