Panggilan keras itu berhasil menghentikan laju tangan Salma yang beberapa senti lagi menyentuh pipi Mia. Masih dengan wajah marah, Salma terlihat menoleh kearah sumber suara. Tubuhnya yang tadi gemetar hebat mendadak membeku. Mia menyadari perubahan drastisnya. Dia lalu ikut mengalihkan pandangan kearah sosok-sosok asing yang kini mendekati mereka.
"Salma, lepasin dia," kata pertama yang di ucapkan oleh sosok di samping Mia. "Jangan pernah gunakan kekerasan di dalam pesantren kita."
Tak ada nada membentak yang Mia dengar, namun setiap kalimat yang di keluarkan perempuan di sampingnya ini terdengar begitu tegas, walau masih ada kesan mengajak di dalamnya.
Hampir satu menit lamanya Salma hanya diam, menatap sosok itu dengan tatapan yang kelewatan tajam, namun pembangkangannya tak bertahan lama. Salma dengan terpaksa menjauh dari Mia.
"Jangan ikut campur. Ini bukan lagi urusan lu."
"Aku tahu. Tapi aku nggak bisa diam aja lihat kamu berniat mukul santri lain. Umi Rina bakal marah besar kalau sampai tahu hal ini, Salma." Melihat Salma yang kini mulai diam, pandangan perempuan itu kemudian beralih, menatap kearah Mia yang sejak tadi tak bersuara dan hanya diam melihat interaksinya dengan Salma. "Hai, kamu baik-baik aja kan? Apa Salma sempat lukain kamu tadi?"
Pertanyaan itu Mia jawab hanya berupa gelengan saja. Dia sama sekali tak mengenal perempuan yang menatapinya dengan pandangan penuh khawatir. Entah dia salah satu senior Salma atau bagian dari keamanan di pesantrennya. Yang jelas, Mia tak mengenalnya.
"Kamu pasti bingung ya?" tebak perempuan itu tiba-tiba. Sambil tersenyum dia kemudian mulai memperkenalkan diri. "Perkenalkan, aku Laras. Lalu dua santri ini, namanya Vina dan Vani, mereka berdua kembar," tunjuknya kearah dua sosok perempuan yang kini tengah merangkul Salma. Keduanya langsung melambaikan tangan, menyapa Mia dengan senang.
Jelas saja, Mia tak mungkin hanya diam. Dia memperkenalkan diri seadanya pada ketiganya.
"Aku, Mia."
"Sudah tahu kok. Nama kamu sering jadi pembicaraan santri lain belakangan ini. Nggak perlu canggung. Kita satu angkatan. Cuma beda kelas aja. Btw, aku senang bisa kenalan sama kamu. Mari berteman, oke?"
Mia hanya tersenyum saja. Tidak lebih menganggap serius ajakan itu. Dia juga tak ingin terus menerus jadi pusat perhatian anak-anak lain, jadi Mia putuskan untuk mengakhiri perkenalan ini dengan dia yang lebih dulu undur diri.
"Kata siapa lu boleh pergi." Lagi-lagi tangan Mia kembali di cekal. "Urusan kita masih belum selesai."
Teguran dari Laras dan kedua temannya tampak tak di hiraukan oleh Salma. Pandangan perempuan itu hanya tertuju pada Mia yang balas memandanginya dengan malas.
"Apalagi?" Mia sudah terlalu muak meladeni Salma yang sejak tadi menuduhnya mencuri. "Aku udah bilang kan, kalau bukan aku yang nyuri barang kamu. Apa masih nggak ngerti juga."
"Kalau gitu, ayo kita geledah. Mestinya lu nggak takut ngelakuin hal itu kan?"
Karena memang bukan Mia yang mencuri kalung Salma, dia langsung menyetujui tantangan itu. Berharap dengan ini Mia bisa membuktikan kalau tuduhan yang terus menerus di layangkan Salma, tak lain hanya tuduhan kosong saja.
**
Mia dan Salma hanya berdiri diam. Melihat Umi Jihan datang dan menanyakan mengenai keributan yang terjadi pada keduanya. Tak ada yang menjawab, karena itu Laras yang mengambil alih untuk menjelaskan pada salah satu pengurus asrama tersebut. Dengan kata-kata sebaik mungkin tanpa ada embel-embel pertengkaran di dalam penjelasan yang Laras keluarkan.
"Membawa perhiasan itu melanggar, Salma. Kamu tahu kan?"
"Saya tahu, Umi. Tapi saya nggak terima kalung saya malah dicuri dia, Umi." Lagi-lagi Salma yang memulai keributan. Dengan menuduh Mia yang mulai memandanginya dengan ekspresi setengah jengkel.
"Bukan saya yang mencurinya, Umi," akunya lagi.