Mia terkejut, dari pada sebelumnya. Apalagi saat mendengarkan pengakuan demi pengakuan yang keluar dari mulut mereka. Tapi yang lebih mengejutkan lagi, yaitu sikap Laras yang terlihat biasa-biasa saja.
"Kalau kalian mulai merasa bersalah. Kenapa nggak coba ziarah ke makamnya? Karena siapa tahu Luna bisa maafin orang-orang yang buat dia menderita."
"Ras, kita bukannya bermaksud-"
"Aku tahu kok. Kalian cuma ketakutan kalau sampai rahasia ini terbongkar. Apalagi ada kucing yang lagi menguping pembicaraan kita. Iya nggak, Mia?"
Bukan hanya si kembar saja yang terkejut. Nyatanya Mia pun sama. Dia tak menyangka kalau aksinya malah tertangkap basah oleh Laras. Karena memang merasa percuma saja untuk tetap sembunyi, Mia memilih untuk menampakan diri. Dia pandangi Laras yang balas memandanginya dengan ekspresi ramah seperti biasa. Sedangkan si kembar masih terlihat terkejut di tempat.
"Halo, Mia. Seneng kan udah berhasil pecahin setengah teka-teki kematian Luna."
"Kamu nggak ngerasa bersalah?" Jelas Mia terkejut mendengar sikap Laras yang terlihat santai. Seakan tak pernah terjadi apa-apa.
Bukannya marah, Laras malah pura-pura kebingungan. "Emmm... gimana ya aku perlu jawab? Mungkin cuma sedikit," jawab Laras masih dengan raut wajah yang sama. "Toh, dia bunuh diri karena keinginannya. Bukan suruhan kami kok. Jadi buat apa ngerasa bersalah sama sesuatu hal yang nggak kita lakuin."
Mia terdiam, kepalanya menunduk memandangi kedua tangannya yang terkepal erat. Bahkan Mia sampai bisa merasakan rasa pedih yang berasal dari kedua telapak tangannya juga.
"Kenapa?" Pertanyaan itu keluar secara tiba-tiba. "Kenapa kalian ngelakuin hal ini? Kalian nggak ngerasa bersalah kah setelah buat orang meninggal?"
Laras terlihat berfikir. Dia lalu memilih untuk bangkit berdiri dan berjalan mendekat kearah Mia yang balas memandanginya dengan marah. "Kalau kamu tanya alasan? Jelas, nggak ada alasan buat kita ngelakuin perundungan itu sama Luna. Kamu pasti kecewa ya? Karena cuma dapet jawaban itu dari aku. Kasian banget, padahal udah berlaga jadi detektif sampai berani ke sini."
"Apa kamu juga yang suruh Luna buat tulis surat wasiat itu?" Lagi-lagi Mia bertanya, mengeluarkan apapun yang ada di pikirannya. "Benarkan?!"
Tak perlu menunggu lama atau memaksa Laras untuk menjawab. Senyum lebar dari perempuan itu sudah cukup menjawab pertanyaannya. Mia hampir menyerang Laras kalau tidak segera di tahan oleh si kembar.
"Mia, kamu mau apa? Mukul aku? Yah, silahkan aja," tunjuk Laras kearah pipinya sendiri. "Paling ujungnya kamu juga yang bakal di salahkan."
"BRENGSEK! SIALAN KAMU, LARAS."
Mia terus memaki kasar sosok perempuan yang membalas makian itu dengan tawa senang.