Lentera

silvi budiyanti
Chapter #1

Gombong dalam Ingatan

Namaku Rangga Dwi pamungkas, aku terlahir di Gombong 19 Maret 1980. dari pasangan Suami Istri yang sederhana, Bapak Memed Riyadi dan Ibu Murni. Bapak hanya seorang pekerja serabutan, terkadang berjualan tas, dompet atau kaset di pinggir jalan. Sedangkan Ibu turut membantu mencari rezeki dengan berjualan aneka masakan dan makanan ringan, seperti nasi goreng, mie godok, gorengan, kopi dan minuman lainnya. Kami tinggal di rumah kontrakan sederhana, bahkan hampir setiap tahun kami pindah-pindah kontrakan di sekitar pasar Gombong.

Aku memiliki lima orang adik beradik, ada Kakakku Yanti dan ke empat adikku Endang, Niken, Puput dan Agung. Bukanlah hal mudah bagi orang tua kami membesarkan 6 anak saat itu. Adikku Puput harus di besarkan oleh kerabat kami yang tidak memiliki keturunan. Puput di adopsi sejak lahir, dan harus tinggal terpisah dari kami. Hal itu Bapak dan Ibu lakukan agar Puput mendapatkan kasih sayang dan fasilitas yang lebih baik.

Aku kecil terbiasa hidup kekurangan, terkadang Ibu hanya memasak makanan yang terbatas untuk kami, begitu pun untuk tidur, kontrakan kami sungguh kecil hanya ada satu ranjang usang yang kami punya. Di situlah kami berlima kecil suka bermain dan beristirahat di kala malam tiba. Tidak seperti rumah orang-orang yang mampu peralatan rumah tangga dan perabotan rumah kami sangat terbatas.

Ibu dan Bapak lebih suka hidup di sekitar pasar Gombong agar dapat berjualan dan memperoleh rezeki lebih. Berangkat pagi, pulang malam hampir 24 jam mereka berjuang mengais rezeki agar dapat menghidupi kami, hanya sebentar sekali ibu dan bapak pulang ke rumah sekedar memasak dan berganti pakaian.

Saat usia lima tahunan, aku terbiasa main, dan hidup di pasar sendiri. Aku dari kecil di besarkan secara keras di jalan.

Jika perutku terasa lapar bukan hanya sekali dua kali aku mengutil makanan di pedagang kue tradisional tapi setiap hari, hal itu kulakukan karena perutku lapar dan tidak memiliki uang walau untuk sekedar jajan.

Sering sekali jika capek bermain aku pulang ke rumah, ingin sekali aku makan, tapi saat sampai di rumah tidak ada makanan yang dapat aku makan, terkadang saat aku lelah dan ingin tidur pun aku tidak kebagian ranjang untuk sekedar membaringkan tubuhku.

Sangat berbeda dari anak-anak kecil lainnya yang sangat ter perhatikan oleh orang tua, di sayang dan hidup dalam kecukupan. Kami sangat prihatin dan kekurangan.

Dikala sore hari menjelang aku suka main di bioskop, terkadang banyak orang yang memberiku makanan atau uang koin yang aku kumpulkan untuk membeli jajan, mainan ataupun baju. Apalagi jika pasangan muda-mudi yang sedang berbagi kasih di Bioskop untuk menonton film, banyak sekali yang suka kepada ku, karena badanku mungil, putih dan ganteng mereka melas dan memberiku makanan.

Hampir tiap malam aku menyusup ke bioskop untuk menonton film, bahkan sering kali aku terkunci dan tidur di dalamnya. Gelap, dingin, takut dan sendiri di bioskop yang sebesar itu. Aku hanya bisa menjerit dan menangis. Tapi tak ada yang bisa membantu ku keluar sebelum petugas pembawa kuncinya datang di esok hari.

Setiap malam jika tidak di bioskop aku lebih memilih masjid untuk beristirahat sekedar menumpang mandi dan tidur. Mandi dan berenang di dalam bak masjid yang besar membuat aku sangat senang, atau terkadang aku tertidur di ubin masjid yang dingin tanpa alas, semua itu bagiku lebih nyaman dari pada harus berimpitan tidur di satu ranjang dengan kelima saudaraku.

Lihat selengkapnya