Malam itu, tepat di bawah naungan langit yang sudah tak berwarna biru, ku tatap kembali mata teduh sebelum akhirnya berbalik dan sama-sama menghitung langkah untuk menjauh. Tidak, ini bukan perpisahan dua insan yang baru saja melalui musim kasmaran, aku hanya usai bercakap ringan dengan Aby. Pria sempurna yang tidak pernah sadar bahwa pada dirinya segala rinduku bermuara.
Aku sudah mencintai Aby sejak lama, aku sedikit bingung harus menjelaskannya dengan kata apa, cinta bertepuk sebelah tangan? Cinta dalam diam? Atau korban ketidak adilan Tuhan. Terserah mau bagaimana kalian menilai, cerita ini terlalu lebay atau kekanak-kanakan, yang jelas aku hanya menulis ulang skenario Tuhan.
Aby, pria tertampan versi sudut pandangku sendiri, pria tinggi, kurus, dan berkulit bersih. Menyukai senja dan kopi serta ahli meracik bumbu puisi.
Sebelumnya aku tidak pernah percaya istilah cinta pandangan pertama, karena menurutku untuk menumbuhkan cinta terhadap seseorang tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bukankah untuk menemukan rasa aneh itu kita harus banyak menghabiskan waktu bersama, mencari puluhan topik setelah memutuskan untuk bertegur sapa setiap harinya, kita harus lebih dahulu mendapat nyaman dari insan yang di kemudian hari akan kita sebut pasangan, pun nyaman tidak bisa menjamin cinta akan ada setelahnya. Jadi aku lebih percaya bulan terbelah tiga dari pada nyata dari istilah cinta pandangan pertama.
Hingga pada akhirnya di suatu malam yang sudah Tuhan rencanakan pria berambut tak lurus datang dengan senyum paling menawan. Dan saat itulah aku mengubah pemikiran ku tampa pikir panjang.
Ya, Aby membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Aby dengan segudang pesonanya dan aku dengan segunung kekagumanku.