Dari sekian banyaknya siswi Cakrawala yang tergolong cantik, Soka memilih Luna untuk ia jadikan pacar. Lumayan, Luna tidak terlalu buruk, juga kemungkinan bisa bermanfaat untuknya. Dijadikan babu atau bahan bullian sepertinya asyik.
Orang lemah memang pantes dibully, supaya kuat.
“Soka cupu, alay. Nembak gebetan kok mainstream. Udah ada dua puluh siswa yang nembak cewe di lapangan tapi akhirnya ditolak. Semoga loe masuk jadi salah satu dari mereka. Aamiinin guys.”
Sorak semua siswa siswi yang melihat adegan picisan itu mengamini yang dipandu oleh si provokator. Namanya Alard, laki laki itu tersenyum nista dari lantai dua sedangkan Soka tidak ambil pusing malah menyodorkan senyuman maut yang berhasil menggemparkan sebagian siswi yang niatnya sekolah untuk memburu cogan famous.
Alard itu, tidak tau diri. Alih alih menyemangati sahabatnya berjuang malah asyik menyurutkan tekadnya. Padahal Soka sudah berbaik hati menukar mobil sportnya dengan motor bodong rongsokanya.
Kadang kita memaklumi seorang teman yang tidak tau diri.
Soka bergumam lirih. “Pasti mereka gak punya uang kan buat manjain pacar mereka? Pantes di tolak.” Tangan Luna bergetar, keringat dingin bercucuran dalam genggaman Soka. Meski tidak ada yang mencibirnya, Luna tidak biasa menjadi bahan pertunjukan.
“Luna, aku kaya. Kamu mau jadi pacar aku kan? Kalau nolak, kamu gak beda jauh sama iblis. Jahat, kejam, jahanam. Plot twistnya nanti kamu masuk neraka.”
Masih dengan kepanikan kentara dan genggaman Soka semakin mengerat seiring ia ingin melepaskan diri, bibir Luna kelu. Sungkan untuk memutuskan sesuatu padahal ia tau, pernyataan Soka tadi seharusnya tidak usah diambil hati. Soka, kadang melampiaskan kegabutannya dengan bertingkah random seperti ini.
Kata kata yang belum sempat ia serukan, sudah lebih dulu terpotong dengan adanya seseorang menubruk punggung Soka sampai menghantam tubuh kecilnya.
Good ending, mereka mati dikerumuni siswa siswi Cakrawala. Sayangnya tidak jadi. Mereka masih seratus persen sadar dengan keadaan sekitar.
Sorak membahana saat keduanya tumpang tindih dan Soka malah asyik memandangi wajah pucat Luna di bawahnya dengan jarak yang sangat tipis. Tersenyum manis memiringkan kepala lalu berkata lugu sampai membuat penonton kecewa sekaligus menahan tawa. “Napas kamu bau, aku gak jadi nembak. Pergi sana! gosok gigi dulu.”
Ramai oleh tawa, tidak sedikit dari mereka mencibir mulut Soka yang keterlaluan. Lapangan yang tadinya hanya diisi oleh pemain basket kini sesak hanya karena ulahnya, terlebih ada satu siswi bernama Luna yang menangis tersedu sedu sambil berlari menjauhi kerumunan.
Tidak jauh dari tempatnya berpijak, ada gadis kecil memakai topi putih dengan rambut pony tail sibuk menepuk nepuk roknya yang tergulung pasir akibat tragedi tabrak menabrak tadi. Gadis itu belum menyadari kalau dirinya menjadi pusat perhatian semua orang termasuk Soka sendiri.
Berdiri tegap tepat di depannya, tidak tau malu Soka mengulurkan tangan dan menunggu sosok itu membalasnya.
Baekha mendongak, menghentikan aktifitas sejenak lalu menatap heran laki laki aneh yang tiba tiba mengulurkan tangan dan tersenyum gila.
“Boleh kenalan? Nama aku Soka. Kenalan aja dulu, siapa tau nyaman, bisa langsung ubah status.”
Kernyitan di dahi Baekha semakin dalam. Ia pikir cowok tampan, otaknya akan setara dengan wajahnya. Ternyata sama aja, percis Yesin yang tidak dibekali otak.
“Kamu … lulusan rumah sakit jiwa mana?”
(((
Baekha menyukai sekolah barunya. Ada banyak target yang harus ia basmi sampai tuntas. Tidak salah Yesin merekomendasikan sekolah elite yang hanya dihuni oleh kalangan berduit. Dulu uang adalah masalahnya, tapi sekarang uang adalah sahabatnya.
Di sini, semua orang yang pernah menindasnya berkumpul dalam lingkup sempit yang sangat mudah ia gapai.
Berdiri di belakang pembatas balkon kelas sebatas perut, matanya awas menjuru lapangan, jari jemari lentiknya menunjuk beberapa siswa siswi di bawah sana seperti sedang menargetkan sesuatu kemudian senyumnya mengembang senang saat tatapannya menangkap gadis lugu yang terlihat repot membawa tumpukan makanan ringan. Satu bungkus cemilan jatuh, gadis itu terlihat sangat panik dan langsung mengusap bungkusnya supaya tidak ada kotoran menempel.
“Mati aja, hidup kaya gitu gak enak. Dasar manusia bego.” Gumam Baekha membalikan tubuh seraya merogoh saku roknya lalu mengeluarkan bungkus rokok dan korek.
Hisapan demi hisapan meraksuk nikmat ke dalam paru parunya. Udara di sekitarnya dipenuhi asap. Mendongakan kepala dengan mata terpejam, Baekha menghirup asap rokok itu perlahan lahan.
Dibanding vape, Baekha lebih menyukai batang rokok. Sensaninya jelas berbeda, saat kilat api perlahan membakar selintingan tebu, itu terasa seperti candu.
Kelas sepi, begitu pun koridor. Istirahat pertama memang selalu dihabiskan dengan ritual mengisi perut yang membuat Baekha aman untuk menghisap rokok di depan kelas.
“Udah kakak bilang, stop ngerokok Baekha. Kalau kamu cepet mati gimana? Udah gak sayang sama papah dan kakak lagi?”
Yesin merampas rokok yang masih Baekha hisap. Dibuangnya ke lantai lalu ia injak sampai percikan api itu padam dan menyisakan kepulan asap ringan yang menguar. Baekha kembali membalikan tubuh, mengawasi lapangan yang masih ramai digandrungi oleh beberapa anak basket.
No punggung 14, melambai ke arahnya lalu tersenyum manis. Tampan, terlebih tubuh atletis yang dibaluti kaos tanpa lengan itu berkilat karena keringat.