Sudah malam, sekitar pukul Sembilan dan Yesin melampiaskan kekhawatirannya dengan bermain basket di halaman rumah. Akan ia tenggelamkan Baekha di kolam renang karena belum juga pulang tanpa meninggalkan kabar.
Menghela napas berat, terdiam berkacak pinggang meredakan kalutnya dan membiarkan bola basket itu menggelinding ke segala arah. Yesin lelah, keringatnya sudah membasahi kaos hitam yang ia pakai.
“Kenapa gak coba hubungin aja? Baekha mungkin lupa arah jalan pulang.”
Berdecak sambil mengacak rambut lepeknya, Yesin menghampiri sang papah yang membawakan satu set nampan berisi cemilan dan satu kotak jus apel kesukaannya. Duduk di gazebo bersama dan keduanya sibuk memandangi langit malam.
“Sebego begonya Baekha, dia pasti tau jalan pulang pah. Masalahnya, waktu di sekolah, dia bakalan pulang telat karena ada urusan. Katanya, nanti dia telepon kalau urusannya kelar.”
“Dia belum telepon juga sampai sekarang?” Yesin menggeleng lemah menatap ponselnya yang tidak memunculkan satu pun notifikasi.
“Papah tau sendiri akibatnya kalau kita gak nurutin ucapannya.” Ucap Yesin lesu. Sudah cukup, ia tidak mau mencampuri urusan adiknya lagi. Dulu dahinya pernah disilet karena menyelamatkan seorang psikiater yang dikurung dalam gudang.
Radit membuka toples makanan, mulutnya kering ingin mengunyah sesuatu. Disodorkan toples itu kepada Yesin agar sulungnya ikut menikmati cemilan yang ia bawa. Yesin menolak.
Radit menopang dagu sambil mengunyah keripik. Fokusnya masih tertuju pada langit malam tanpa bintang. “Adikmu itu … cepat sekali shock. Hubungi dia! Papah yang tanggung jawab.”
***
Lututnya ia tekuk menjadi sandaran kepala, meringkuk di pojok ruangan dan membiarkan cowok berpakaian basket itu meneliti jasad Ana. Raut wajahnya datar, tatapan matanya memperhatikan beberapa karya yang Baekha ciptakan.
Berlutut di sayap kiri si mayat, menyibak rambut yang menutupi sebagian wajah hancur itu dan Soka tidak mengenali sama sekali siapa perempuan yang sudah Baekha bunuh.
Terlepas dari itu semua Soka berdecak samar menyembunyikan kekagumannya.
“Masih amatir ya?”
Baekha mendongak, menggigiti kuku jarinya panik. Ia sudah ceroboh mengeksekusi manusia di tempat yang mudah sekali terjangkau. Matanya berkaca, tubuhnya bergetar. Takut kalau mayat itu kembali hidup dan balik menyerangnya.
Soka menyeringai lantas merangkak ke arahnya. Menjauhkan jari jari itu dari mulutnya supaya Baekha berhenti. Pasalnya, sudah banyak darah yang mengalir dari kulit tangan yang tidak sengaja Baekha gigit.
“Mau aku gendong ke luar? Tapi baju kamu penuh darah, ganti baju dulu ya?”
Gila, Soka gila. Cowok itu tidak menghakimi atau pun shock usai melihat mayat mengerikan tergeletak di lantai gudang karena ulahnya. Manusia normal mana yang bisa setenang itu? Baekha menyimpulkan kalau Soka itu memang benar manusia alien. Tidak waras, sama sepertinya.
“Mayatnya?” Tanya Baekha ragu sekaligus takut saat bola mata Ana bergulir menghadapnya. Soka menggenggam kedua tangan Baekha, menariknya bangkit lalu keduanya saling berhadapan.
“Biarin aja.”
Bola mata Baekha hampir mencuat. Tidak mungkin ia membiarkan mayat Ana tergeletak begitu saja. Meski Ana teman kurang ajar, setidaknya hanya Ana yang mau berteman dengannya. Baekha ingin mengirim mayat Ana pada keluarganya supaya bisa dimakamkan dengan layak.
“hand phone kamu bunyi. Pasti ada yang nelpon. Angkat dulu, sebelum temen aku yang di luar tau.”
Semua ucapan Soka ia turuti. Mempercayakan nasib baiknya pada cowok pemain basket itu. Baekha menyusut air matanya lantas merogoh saku seragamnya di mana asal bunyi itu keluar.
Sepuluh panggilan tidak terjawab dari Yesin. Baekha mengangkat panggilan kesekian kalinya cepat.
“Kak—“
“Lupa jalan pulang atau gak mau pulang lagi hah? Punya otak itu dipake, ini udah malam Baekha. Kamu cewek. Kalau ada om om pedofil nyulik kamu gimana? Kalau besok papah serangan jantung gara gara denger berita putri begonya mati di gantung gimana? Minggat aja sana, gak usah balik.”
Kakaknya sudah sangat marah. Baekha tidak kuasa menahan isakan tangisnya lagi. Seharusnya Yesin bertanya ada di mana ia sekarang bukan malah memarahinya seperti ini. Hati Baekha sakit.
Sambil sesegukan, Baekha bicara. “Goblog. Udah aku bilang jangan ikut campur. Aku bakal nelpon kalau urusan udah kelar. Kakak bego, goblog. Kenapa marahin aku hah? Liat aja nanti di rumah, kuping kakak bakal aku potong.” Seru Baekha lirih.
Terdengar ringisan dan bisikan dari sebrang telepon. Sepertinya Yesin sedang merutuki kebodohannya karena kalap memarahi Baekha. Seharusnya wajar, sebagai kakak, ia khawatir kalau adiknya kenapa kenapa.
“Maaf, kakak gak maksud marahin kamu kok. Tapi gini, kamu kan punya ponsel, seenggaknya kalau urusannya lama bisa kabarin kita di rumah. Papah juga khawatir di sini.”
Sama seperti Baekha, Soka juga sibuk dengan ponselnya. Ia mengirimkan pesan kepada Alard untuk pulang terlebih dulu karena ia tiba tiba ingin buang air besar yang mungkin akan memakan waktu lama. Alard mengiyakan, ia bukan sahabat sejati dan sependirian yang harus ke mana mana nempel dengan Soka. Ogah, jijik.
“Ya udah jangan marah marah bisa? Risi aku tuh dengerin kakak ngoceh mulu. Siap siap aja tuh mulut aku jait.” Ucap Baekha ketus, sebisa mungkin ia menahan isak tangisnya. Jantungnya akan bekerja dua kali lipat kalau ada yang membentaknya seperti tadi.
“Gak maksud marah sayang, kakak kan cuma khawatir. Ya udah maaf ya, kamu di mana? Biar kakak jemput.”
Suara Yesin melembut saat sesegukan tertahan dari sebrang sana masih terdengar. Jelas ia khawatir, malam malam seperti ini, rawan sekali begal dan penjahat. Terlebih Baekha tidak ditemani olehnya. Pasti adiknya itu sendirian.
“Aku gak sengaja bunuh orang. Ana Gelistar, pasti kakak kenal. Tolong kirim mayatnya ke rumahnya ya, biar dikubur dan didoain. Siapa tau bisa masuk syurga.”