“Malas banget rebutan udara di satu atap bareng kalian. Kapan musnah? Ayah sama ibu saya udah mati. Gak malu numpang nama di kartu keluarga Asoka tapi statusnya tiri?”
Hari Selasa, seharusnya Soka memakai seragam lengkap, tapi cowok itu justru memakai setelan serba jeans yang membuatnya silau karena tampan. Rambutnya dibleaching warna silver, bodo amat kalau hari ini dan seterusnya ia harus keluar masuk ruang bk.
Dua paruh baya yang tadinya saling melontarkan sanjungan pada si bungsu karena makan dengan lahap, detik itu juga diam tidak berkutik. Abara – si bungsu – bertepuk tangan riang tidak lupa mulutnya berteriak histeris saat melihat kakaknya muncul melintasi pembatas tangga dengan aksi porkournya.
Soka mendesis jijik.
“Anak turunan iblis.” Soka menarik kursi, melempar muka tolol Abara dengan ranselnya. Resleting yang ujungnya runcing, menyayat dahi Abara. Soka bertepuk tangan girang. Melihat Abara tersiksa adalah kesenangannya.
“Wah mantul. Kapan kapan kita main ya anak idiot.” Tukas Soka melambaikan tangan pada Abara yang langsung berlari memeluk mamahnya. Menangis kencang sambil menunjuk Soka memberi tahu orang tuanya kalau kakaknya jahat.
“Dia adik kamu Soka, jangan kasar!” Peringat Ziya – mamah Abara- menatap Soka tajam. Adnan selaku kepala keluarga hanya memejamkan mata karena sudah tidak asing dengan situasi seperti ini.
Anak tirinya itu … sering memojokan dirinya dengan sebutan tidak tau diri dan perkataan kasar lainnya.
“Sperma ayah saya ikut andil gak waktu pembuatan Abara anak idiot?” Soka menyingkirkan nasi goreng buatan Ziya dari hadapannya lalu mencomot buah apel.
Ziya itu bego. Gak pantes jadi istri. Masak nasi goreng aja rasanya manis. Mendiang ayahnya juga bego, pilih istri kedua yang kelewat belet. Semuanya gak ada akhlak memang.
“Meski begitu, kamu gak pantes perlakuin Abara seenaknya. Dia menyayangi kamu sebagai kakak. Kalau gak mau anggep dia adik, seenggaknya jangan sakitin Abara.”
Tatapan Ziya menyiratkan kemarahan yang ditujukan pada Soka.
“Jangan marah marah sayang. Inget janin kamu yang masih rentan.” Bisik Adnan menenangkan istrinya.
“Anda juga seenaknya kok hancurin istana Asoka. Siapa suruh gak tau diri. Udah numpang, kawin sama laki kere, eh nambah beban lahirin anak. Situ … kucing ya yang kawinin jantan gak pandang bulu dan kasta?”
“Asoka!”
“Apa? Mau bunuh saya? Ngimpi!” Soka balik membentak Ziya. Abara yang melihat perseteruan itu menangis kencang. Takut sekaligus tidak terima melihat mamahnya meneteskan air mata.
Ziya menangis, terlalu prustasi menghadapi anak laki lakinya.
“Ada apa ribut ribut? Asoka, kenapa gak pake seragam? Hari ini kamu sekolah bukan? Kemana seragam kamu?” Dari arah tangga, cowok berkaca mata minus yang sibuk membenarkan letak jam tangannya turun menghampiri ruang makan yang tidak henti hentinya dipenuhi oleh pertengkaran.
“Dipinjem bi Sari buat nutupin gorengan yang habis dicolong orang ganteng.” Cetus Soka malas menggigit apelnya rakus.
Adnan dan Ziya beraksi memulai dramanya. Di mana laki laki berstelan kantor itu sedang menenangkan Ziya yang menangis.
“Kak Peli, sakit. Ini sakit hiks.” Abara menghambur kepelukan Feri, menunjuk luka di dahinya yang kena pukul dari Soka.
Feri mengerjab bingung, kenapa adiknya ini bisa terluka?
“Kamu yang lukain Abara?”
“Hmm, dia kaya orang bego. Jadi gua siksa.”
Feri mengembuskan napas berat. Menghampiri mamah dan papahnya sambil menggendong Abara. Perlakuan adik kandungnya itu sudah di luar batas. Feri tidak bisa menghentikan Soka yang semena mena.
Semua kemarahan dan kekecewaan Soka yang sekarang meluap, akibat perlakuan mereka juga di masa lalu.
“Maafin Soka mah, pah. Kalian jangan ambil hati ucapannya ya, Soka sulit dalam mengontrol emosi.”
“Papah minta maaf karena sudah lancang memasuki kehidupan kalian. Papah juga sadar kalau kehadiran papah itu gak diterima. Wajar Soka marah sama papah.” Adnan angkat suara. seratus persen ia sadar, kalau semua yang ia miliki adalah milik mendiang Asoka Wirawan. Jabatan, harta dan kekayaan.
“Soka biar aku urus. Dia emang kurang ajar. Mending papah ke kantor. Aku gak mau semua kerja keras ayah disia siakan begitu aja sama papah.”
“Jangan munafik kak. Loe itu benci sama mereka. Dibanding gua yang frontal maki maki orang sampah ini loe lebih menjurus pake cara halus buat benci mereka. Kita itu sama, tujuan kita satu arah, gimana caranya musnahin mereka yang kelewat masa bodo dengan semua kekacauan yang mereka buat.”
“Jaga bicara kamu Soka!” Feri mendesis geram.
Tidak mau luapan amarahnya ia salurkan pada Abara, Feri menyerahkan adik lucunya itu pada Ziya. “Hormati mereka seperti kamu menghormati orang tua. Usai kepergian ayah dan ibu, cuma mereka yang mau ngurus kita.”