"Kamu yakin mau pakai ini?" Akira ragu dengan tampilan Annisa menikmati Yamaguchi Gion Matsuri.
"Enggak panas?
"Daizoubu Desuka?"
(Benar, tidak apa-apa?)
Akira memastikan Kembali. Yamaguchi di kala pertengahan musim panas memang mulai lebih panas dari biasannya. Mencapai 39 derajat dengan kelembaban yang tinggi.
"Maksud kamu ini?" Annisa mencoba menebak arah pertanyaan Akira. Annisa menunjuk Jilbab yang ia kenakan dan setelan yukata. "Enggak kok, tenang saja, sudah jangan khawatir, aku nyaman kok dengan apa yang ku kenakan".
"Oh, oke," Akira memilih tak melanjutkan. Ia paham apa yang menjadi keraguannya tak akan mampu bisa berubah. Ia menghargai benar apa yang di yakini Annisa.
Berbeda dengan dirinya dan masyarakat Jepang kebanyakan. Akira ingat ia pernah melontarkan sebuah fakta yang mungkin semua orang jepang tahu akan hal ini. Kejadiannya tiga hari lalu ketika dirinya menghabiskan waktu bersama Annisa di atap gedung Yamaguchi University menunggu matahari terbenam. Sebagai mahasiswa yang berjibaku dengan segala penyakit hewan di laboratorium, duduk bersantai di atap gedung seperti ini jadi sebuah privilege untuk melepaskan stress akan hiruk pikuk perkuliahan.
"Nisa, kamu tahu, kamu beruntung ada yang benar-benar kau pegang untuk kau yakini, tidak sepertiku dan orang-orang Jepang kebanyakan. Orang Jepang itu, lahir sebagai penganut Shinto, menikah secara Kristen dan meninggal dalam upacara Budha," Akira menyinggung keberuntungan Annisa dengan keyakinannnya. Tangan Akira sibuk menggambar sketsa sekawanan mahasiswa yang tergabung di club baseball yang sedang berlatih di lapangan. Semangat mereka tersentuh warna jingga lembayung senja. Akira punya cara sendiri melepas stressnya. Baginya berbincang dengan Annisa, melihat senja dan menuangkannya dalam gambar adalah caranya melepas stress.
"Masyarakat tempatku bertumbuh terkadang melihat agama sebagai sebuah perayaan semata," Akira melanjutkan kegundahan tentang keberagamaan manusia-manusia di sekitarnya
Annisa menyimak benar cerita yang baru saja dilempar Akira. Annisa tak berupaya menyanggah, ia juga memiliki banyak kawan orang jepang asli, terkadang ada salah satu kawannya yang melontarkan kisah yang hampir sama.
"Kalau benar dengan apa yang kau sadari tentang masyarakat Jepang, mengapa kau tidak memilih satu saja untuk menjadi apa yang kau yakini," Annisa tergerak untuk bertanya lebih spesifik tentang apa yang terlontar dari mulut Akira menilai kehidupan masyarakat Jepang dan konsep beragama. "Kau bisa pilih satu dari ketiga agama yang kau sebutkan tadi," Annisa memberikan sebuah ide.
"Mengapa engkau hanya memintaku memilih dari ketiga agama yang kusebutkan, bahkan engkau tidak berusaha menawarkan agamamu?" Tanya Akira.
"Apa yang kuyakini, bahwa agama yang aku anut sekarang adalah rahmatan lil alamin. Bisa bermanfaat bagi sebanyak-banyaknya manusia di muka bumi ini," jawab Annisa. "Kalau memang kau ingin atau tergerak ingin mempelajari apa yang kuyakini, tanpa perlu ku tawarkan kau akan menerima hidayah dengan sendirinya,"
"Padahal aku sedikit terbersit untuk belajar apa yang kau yakini, karena aku mencintaimu dan ingin menikah dengan mu," Ujar Akira sambil memandang sebentar ke arah Annisa dan memberikan senyum terbaiknya.
Manis sekali, Annisa terdistraksi dan hampir setuju dengan apa yang disampaikan Akira tentang hubungan mereka berdua dan keputusan memilih islam sebagai agama yang diyakini.
"Tidak-tidak, bukan begitu cara kerjanya hidayah, kalau kau ingin belajar Islam karena kau mencintaiku dan ingin menikahiku, aku akan jadi orang yang pertama menolakmu," Annisa tiba-tiba tegas dengan apa yang baru saja ia ucapkan. "Seharusnya kau melakukan semuanya bukan karena mencintaku semata, namun juga karena mencintai Allah,"
Akira meletakan pensil diatas sketsa yang ia buat. Ada hal menarik yang membuat ia tercekat.
"Aku ingin suatu saat nanti kamu mengerti dengan apa yang kuucapkan," Ujar Annisa
Annisa tahu Akira sangat mencintainnya, namun Annisa paham cinta mereka tidak semudah apa yang dipikirkan banyak orang. Ini bukan sekedar percintaan beda agama, namun juga beda budaya. Sebagai pemilik terah keluarga Arab di Surabaya dengan nama belakang "Alatas" rasa-rasanya akan sulit bagi Annisa memperjuangkan Akira diterima Abi. Iya benar, Abi, begitulah Annisa biasa memanggil ayahnya yang keturunan arab totok yang sekarang tinggal di Kawasan Ampel Surabaya.
Di usianya yang menginjak hampir 25 tahun sudah pasti Abi mulai meneror Annisa untuk segera berumah tangga. Untung saja Annisa punya banyak cara menghindar sejenak dari pertanyaan Abi-nya. Salah satunya dengan apa yang ia jalani sekarang, ia memutuskan melanjutkan study S3 hingga ke negeri matahari terbit. Abi-nya tak pernah mampu menolak keputusan Annisa jika terkait melanjutkan pendidikan kedokteran hewan yang dijalani Annisa.