Di sebuah kota kecil yang terletak diantara pegunungan, kabut tipis membungkus bangunan - bangunan. Semburat merah muda bercampur di langit gelap, sembunyi dibalik awan dan cahaya bintang. Jalan yang biasanya hening mendadak dipenuhi oleh langkah terburu – buru penduduk setempat.
Satu, dua… perlahan orang semakin bertambah. Mereka mengabaikan udara dingin yang menusuk tulang, panik mengetuk pintu setiap rumah yang terlihat mata. Beberapa rumah mulai menyalakan lampu, penghuni keluar sambil memasang wajah tegang. Tanpa kata ikut bergabung dengan rombongan.
Berbalut pakaian sederhana, mereka berjalan sembari bercakap dengan nada rendah. Wajah – wajah dipenuhi kegelisahan, takut, dan penasaran. Seolah dituntun oleh insting, langkah kaki mengantarkan mereka pada satu rumah di Distrik Saloka.
Rumah kecil berwarna hijau terang sudah dikerumuni banyak orang. Ada yang mendarat dari langit, timbul dari dalam tanah, atau muncul diantara kabut.
“Ada apaan sih Mbok?”
“Eh, kamu toh Ran.” Ipah bersuara sambil berjongkok setinggi semak - semak.
Rania menguap pelan, berdiri dengan rambut hitam berantakan yang panjangnya mencapai pinggang. Kaos kebesaran menempel lemas di tubuh. Mata berbeda warna gadis itu memicing tajam, menatap sumber keributan di seberang rumah.
“Katanya rumah di seberang itu kena rampok. Enggak tau beritanya bermula dari siapa, kalau dari yang saya dengar kondisi disana juga ngeri banget.”
Manik hitam Rania mengamati sekitar. Kabut mulai memudar, menunjukkan beberapa petugas berseragam cokelat yang sibuk bekerja. Kerumunan warga terus bertambah, termasuk rombongan lain yang bisa Rania lihat dari kejauhan. “Aku kenal sama penghuni rumah itu,” ucapnya. Dia mendapati bola mata Ipah membeliak, diiringi oleh ekspresi horor di wajah. “Itu keluarga Pak Adi, guru SD aku sama Kak Rama dulu. ”
“Yaudah kamu tunggu apa lagi, buruan ke sana. Cek itu guru kamu atau bukan.”
Rania memakai sendal jepit dengan tangan membuka gerendel pagar besi. “Yaudah Mbok pulang aja, hari ini libur dulu. Nanti saya kabarin pakai telepon rumah.”
Di usianya yang genap lima puluh tahun, Ipah sudah bekerja sebagai ART nyaris seumur hidupnya. Dimulai sebagai pekerjaan pertama dari garis kakek, ibu, bapak, sampai mendarat pada dirinya. Terlatih sejak kecil membuat ia mengenal pola tingkah berbagai jenis manusia tempatnya bekerja Namun bos kali ini agak berbeda, sepasang kembar laki - laki dan perempuan. Identik, jarang ditemukan, begitu juga dengan tingkah mereka.
Bagai belut, Rania meliuk diantara gerombolan penduduk hingga tiba di tepi garis polisi. Manik hijaunya mendapati kondisi TKP yang terasa janggal.
Pot tanaman, sendal dan sepatu, maupun sepeda roda tiga di petak tanah masih berada dalam posisi wajar. Kontras dengan cipratan darah dan sabetan benda tajam, genangan cairan merah mengalir dari dalam rumah lalu berakhir di tanah basah, berjarak tiga jengkal dari ujung sendal Rania. Ada sebuah tangan yang menggantung di tepi jendela, jari – jari manusia menambah kesan ngeri dari TKP ini.
“Rania.” Suara pria dewasa di balik ramai desau manusia memanggil namanya.
“Satrio?” jawab Rania. Mulut mengatup ketika pria itu berjalan mendekat dengan wajah kusut.
Tubuh tingginya terlihat mencolok dibandingkan orang sekitar. Satrio memakai kemeja putih, selendang biru bergaris emas mengait dari bahu hingga pinggang. Ada buku kecil di tangan kanan, yang ia gunakan untuk memukul kepala Rania.
“Kamu tuh gak pernah sopan sama yang lebih tua.”
“Maaf.” Mata Rania menumbuk pada kertas – kertas yang berjubelan dalam buku kecil, tak peduli meski Satrio sudah melotot padanya sejak tadi. Harapan untuk melihat isi kertas harus gagal saat pria itu menyembunyikan kedua tangan di belakang punggung. “Aku tuh kaget lihat Bang Tio di sini. Ngapain orang kuil muncul di tempat terduga perampokan?”
Satrio menghela nafas, sempat terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mulut terbuka. “Karena alasan penyelidikan, aku gak bisa cerita banyak - banyak. Pokoknya yang terjadi adalah… gitu deh.”
“Apa?!” seru Rania. Dalam hitungan detik, kedua tangannya meraih kerah baju Satrio dan membuat pria itu tersentak. Beberapa penduduk menonton keributan di depan mata, bisik halus bisa ditangkap telinga Satrio. Sebelum lehernya benar – benar patah, ia segera mengeluarkan sebuah kerikil kecil sembari menepuk pelan tangan Rania.
Gadis itu menyambar benda tersebut secepat kilat. “Harus jauh dari kerumunan warga,” bisik Satrio. Pria itu memasang senyum misterius dan melangkah pergi, bergabung dengan beberapa petugas polisi yang sedang berdiskusi alot. Rania tak ambil pusing, memilih untuk keluar dari tatapan mencolok para warga. Di bawah lampu jalan yang mulai redup, ia menempelkan batu berpola akar pada pelipis kiri.
Kasus Pembunuhan (?)