Sebuah benda mendarat di pucuk kepala Rania, penuh tenaga hingga suaranya memenuhi ruangan. Para guru yang sibuk dengan urusan masing – masing hanya melirik tipis, seolah tindakan ini adalah hal lumrah dan biasa. “Kamu tuh harus dipukul biar sadar,” gerutu seorang guru. “Bisa tidak, satu minggu saja kamu bertindak tenang seperti murid lain?!”
Rania memasang wajah datar, tersadar bahwa lagi – lagi ia dipukul di tempat yang sama. Urat muncul di dahi gurunya, diikuti oleh dengus amarah dari lubang hidung. Tanpa aba – aba pria itu melontarkan makian. “Anak iblis, dasar iblis!!” teriaknya. Kamus oxford setebal bantal ia hantamkan ke tubuh Rania, berkali – kali sampai beberapa guru terpaksa turun tangan. Tak peduli dengan kehebohan di depannya, Rania malah menumbukkan pandangan pada murid lain di ujung ruangan.
Seorang gadis berambut merah darah, bermata ungu dengan bintik – bintik cokelat menghiasi hidung dan bawah mata. Sosok itu sadar ditatap Rania, ia memasang wajah serius sambil menelan ludah, seolah memberi kode. Guru memanggil, membuat ia memalingkan wajah secepat kilat.
Dasar orang sibuk, batin Rania. Insiden subuh tadi, menimbulkan dilema bagi semua orang. Dalam diam mereka menatap satu sama lain, mengamati bila ada tingkah laku berlebih terkait para ‘korban’. Udara pengap dan penuh kecurigaan, mengakibatkan suasana terasa gerah meski hujan kembali membasuh kota Abdjaya.
“Sudah Pak, sabar. Tarik nafas dulu.” Seorang wanita menyodorkan air minum. Ia berdiri di sebelah Rania, mengelus pelan bahu gadis itu. “Saya tahu Pak Rahman sedang kalut akibat kejadian yang menimpa keluarga Pak Adi. Semua guru di sini juga inget kok, kalau Bapak sama Pak Adi telah bersahabat dalam waktu lama. Tapi gak seharusnya Bapak melampiaskan emosi ke murid sendiri.”
Rahman mengusap keringat, heran mengapa suhu di sekitarnya mendadak begitu panas. Sambil mengipasi diri, ia menatap Rania dengan ekspresi kesal. Rahman baru mendapat laporan bahwa gadis itu lagi – lagi berkelahi, kali ini dengan beberapa murid sekaligus. Di area belakang sekolah yang jauh dari pengawasan guru. Bila mendengar sekilas, pasti semua orang akan bersimpati kepada Rania, membayangkan ia dikeroyok hingga terpojok. Tapi bukti di lapangan menunjukkan hal yang jauh berbeda.
Nafas Rahman masih menderu, organ – organ dalam tubuhnya sedang bersusah payah menenangkan diri. Pelan tapi pasti, urat marah di kulit mulai berkurang. “Saya gak peduli, pokoknya kamu harus jenguk semua murid yang kamu lukai. Dalam minggu ini,” cetusnya. “Tolong Bu Sulastri juga awasi bocah ini.”
“Boleh minggu depan aja gak Pak? Saya mau fokus latihan buat lomba.”
“Minggu ini,” tuntut Rahman.
Tidak bisa ditawar lagi. Rania akhirnya menunduk sopan – setengah hati akibat dipaksa Sulastri -- meninggalkan ruang guru diiringi gemuruh bel masuk. Suara langkah kaki terdengar, menyusul gadis itu dalam kecepatan stabil. “Aku kagum sama kamu Ran. Tumben bisa nahan diri.”
Rania menggelengkan kepala. “Evelyn… Evelyn. Kamu masih mentah.”
“Mentah gimana?”
“Ya gitu deh. Tebak saja sendiri.” Rania menjulurkan lidah, mengejek sahabatnya sambil berlari kecil. Peraturan Dilarang Berlarian di Lorong Sekolah terabaikan begitu saja, bisu memperhatikan murid – murid yang bergegas menuju kelas. Hujan turun makin deras, percikan air mendorong Rania dan Evelyn ke tepi tembok. Langkah kaki Evelyn makin lambat, ia bersandar ke tembok sambil memasang wajah bosan.
“Mau bolos?” Usulan Rania membuat Evelyn menoleh ke kanan. “Aku serius. Pas loh hujan begini makan mie. Lagian kalau jam segini, kujamin kantin kosong melompong,”lanjutnya.
“Bilang saja kalau sekarang lagi pelajaran ekonomi kan? Makanya kamu malas masuk.” Evelyn menopang dagu dengan kedua telapak tangan. “Tapi di kelasku sekarang jam Bu Wati, materi biologinya lagi seru banget.”
“Ayolah. Sudah lama kita enggak bolos bareng.” Rania ikut bersandar, ia mengenggam erat tangan Evelyn. “Mulai dari minggu ini sampai dua bulan ke depan, aku bakal sibuk. Mungkin kita cuma bisa ngobrol kalau ada misi aja.”