Dunia berjalan normal. Halaman rumput berhiaskan bunga – bunga matahari, kuning terang kelopaknya memanjakan mata. Batu tersusun rapi membentuk jalan setapak, beralur – alur ke berbagai titik di sekitar rumah sakit. Kebahagiaan terpancar dari para pasien ketika bersenda gurau dengan penjenguk masing – masing. Wajah mereka sangat menyebalkan bagi Rania.
Bau obat – obatan dan karbol beradu tajam, memenuhi setiap molekul udara dalam kamar tersebut. Di atas ranjang pasien di depan mata Rania, teronggok tubuh manusia yang telah ia doakan selama berhari – hari. Meski isi kepalanya kusut, tangan kembali ia tangkupkan dan mulut mulai merapal puja – puji. Langkah kaki terdengar, diikuti oleh suara pintu terbuka. Rania bergeming, sama sekali tidak bergerak dari posisinya.
“Rania, makan dulu.”
Membuka kelopak mata, ia disambut oleh seorang remaja perempuan dan laki – laki berseragam SMU Litang. Sebuah tangan halus menyodorkan plastik berisi bungkusan makanan. Enggan, Rania menerima dan meletakkan benda tersebut begitu saja di atas nakas. Dia tak selera, nafsu makannya sudah tersendat – sendat sejak ia menerima kabar buruk.
“Sudah berapa hari kamu terjaga begini?” tanya Adnian sambil mengeluarkan bungkusan makanan dan menyodorkannya kepada Rania. “Kan lucu kalau nanti Rama bangun, tapi kamu malah tumbang.”
Rania merengut, ia menatap pada sosok lain yang berdiri di samping Adnian, berharap ada pembelaan untuk tindakannya. “Kamu harus istirahat Rania,” tegur Galuh.
Dari sedikit pembesuk Rama, kombinasi kedua orang ini adalah hal tak terduga. Galuh duduk sambil mengupas apel, dengan cekatan ia mengukir buah tersebut membentuk hewan – hewan kecil lucu yang cocok sekali dengan dirinya. Sementara itu, Adnian mengambil duduk di ranjang kosong. Dalam diam ia sibuk mengurus puluhan berkas – berkas yang bertebaran di atas seprai putih.
“Kata keluargamu gimana Luh?”
“Papa bilang kondisi Rama stabil, entah apa yang menyebabkan dia tidak kunjung bangun sampai saat ini.” Galuh menata apel berbentuk kelinci di atas piring. “Kemarin aku dengar beberapa kerabat ikut membahas hal ini di rumah, penyelidikan sedang dikerjakan. Sabar ya Ran…”
Penyelidikan. Sepotong kata yang terus – menerus Rania dengar sejak tiba di sini, keluar dari mulut dokter, perawat, hingga pembesuk kalangan atas. Ada satu hal yang mulai terbesit, rasa curiga berbalut ragu perlahan menumpuk tinggi dalam benaknya.
“Kamu enggak mau sekolah dulu Ran? Pak Rahman bilang sudah berhari - hari kamu menghilang tanpa ijin.”
“Aku gak bolos.” Tatapan tajam ia arahkan pada Galuh. “Saat ini aku fokus merawat keluargaku satu – satunya.”
Galuh menelan ludah, nalurinya mengatakan bahwa dari detik ini dia harus merangkai kata serapi mungkin. Jangan sampai memancing keributan yang tak perlu. “Kamu tidak pernah tidur kan, hampir lima hari berturut – turut?”
Rania tidak menjawab.
“Aku bisa suruh staff rumah sakit, atau siapa pun yang berwenang di sini untuk memberikan perawatan terbaik bagi Rama. Kalau memang diperlukan, aku bakal bujuk Mama dan keluarga besar Husein untuk memindahkan Rama ke bangsal VVIP,” cetus Galuh.
“Aku gak perlu semua janji manis itu Luh. Apa yang aku butuhkan sekarang adalah kepastian soal kondisi Kakak, dia sebenarnya terjangkit apa? Bahkan dengan sihir Pawit yang aku berikan selama empat hari tanpa henti, sama sekali tidak menunjukkan perubahan apa pun.”
Galuh mengamati Rania lamat – lamat. Pupil mata terlihat kalut, bahu gemetar, dan bibir bawah yang tergigit, begitu dalam sampai membentuk luka segar di atas sana. Sejujurnya, ia juga kebingungan dengan apa yang menimpa Rama. Bahkan setelah diskusi berjam – jam antar keluarga Husein yang memang berkecimpung di dunia kesehatan, hasilnya tetap buntu. Galuh menggenggam erat jari tangan sendiri sebelum akhirnya membuka mulut, “apa mungkin Relung Memori?”
“Tapi itu gak mungkin Galuh, belum seminggu sejak perburuan terakhir kita. Bahkan tanah kuburan para hama masih basah,” cecar Adnian. Dia menutup buku besarnya dan berpindah duduk. “Kalau misalkan benar pun ini Relung Memori, waktunya terlalu lama. Tidak pas. Masa sampai empat hari lamanya dia bertemu dengan-Nya?”
Pendapat Adnian masuk akal. Titah berupa perburuan hama selalu diberikan kepada Rama, selaku pemimpin pada Akonia angkatan ini. Bila mengingat penjabaran tugas – tugas Akonia, maka cerita tentang Relung Memori lebih mirip dongeng dan legenda lokal. Sulit mendapatkan bukti valid, sebab hanya Sang Hantu seorang lah yang mengalami segala bentuk interaksi dengan Hyang Katri. Sosok yang begitu tinggi bagi para manusia berdarah Abdjaya. Pendapat yang diutarakan pemegang peran ini selalu berbeda – beda pada setiap angkatan Akonia, namun ada dua garis yang bisa ditarik sebagai kesimpulan.
Rentang waktu saat memasuki Relung Memori dan efeknya pada tubuh mortal.