Akonia Raya

Kamala Loka
Chapter #5

05. Para Hama

Perburuan belum dimulai dan Rama sudah capek. Pertengkaran hebat antar Akonia pada tiga hari lalu masih tercetak jelas dalam kepala. Rasa bersalah muncul di hati, meski sebenarnya ia hanya mengumumkan hama yang ditunjukkan oleh Hyang Katri seperti biasa. Rama yakin bahwa titah-Nya tak pernah salah, karena bangkai yang berusaha dikubur pada akhirnya akan terlihat juga, sama seperti hama – hama lalu. Meski timbul sedikit keraguan, sebab hama ini sangat dekat dan terlalu dekat dengan beberapa Akonia.

Banyak pertanyaan berbalut kepastian yang dilontarkan padanya, Rama tetap memakai narasi sama. Mereka adalah pendosa. Kata – kata itu efektif membungkam protes dan menyumpal air mata, meski menjelang perburuan Rama bisa merasakan dengan jelas aura penuh ancaman dari beberapa mata. Maka keputusan terbaik yang terpikir olehnya adalah mendekat pada sosok paling netral, tidak mengompori seperti Rania dan tidak juga berpihak seperti Dimas. Kacamata berbingkai kuno miliknya memantulkan rambut merah yang berkibar tertiup angin malam.  

“Susah banget Rama, dari tadi aku coba tembus tapi selalu gagal.” Evelyn mengusap peluh di dahi, tongkat besar di sampingnya ikut bergetar seolah – olah bersimpati.

Rama menatap pola – pola abstrak, gurat yang begitu dalam mengeruk tanah menunjukkan bahwa Evelyn sudah mencorat – coret tempat sama selama puluhan kali. Berbekal kemampuan sang peramal, ia akan menunjukkan denah bangunan tempat para hama berdiam. Biasanya hanya butuh waktu lima detik bagi gadis itu untuk memamerkan karya, tapi kali ini ia tersendat – sendat.

“Mau coba pakai pasukanmu? Biasanya kan mereka mudah ditemukan dimana saja,” usul Evelyn.

Rama menggeleng pelan. “Ti... tidak ada sama sekali hantu di tempat ini. Tanah di distrik ini sepertinya rajin disucikan.”

“Biar aku coba lagi Rama, mau ratusan kali pun akan kulakukan.” Tangan kurus laki – laki itu menyentuh permata di pucuk tongkat Evelyn, memadamkan cahaya ungu. “Tap—”

“Cukup Lyn. Kalau memang tidak bisa, jangan dipaksakan.” Gugupnya Rama menghilang. “Masalahnya bukan pada kamu, tapi di tempat lain. Coba deskripsikan apa yang terlihat?”

“Gelap, garis – garis berbayang dan ratusan titik buram,” ujar Evelyn dengan alis berkerut. “Seperti ada yang menghalangi pandanganku, berlapis – lapis sampai bisa memblokir seorang Akonia.”

Ucapan Evelyn mendorong Rama pada satu kesimpulan. Tangan meraih sarung pedang, mengangkat hiasan dengan sebuah batu permata berwarna perak berulir hitam. Hanya sebesar kelereng, tapi benda itu mengatur nyawa seorang manusia. “Batu Troka.”

 “Bukannya batu itu berfungsi sebagai pelumas?”

“Kalau cuma sedikit, batu ini memang bisa digunakan sebagai katalis energi sihir dan membawa kebaikan. Tapi bila ada puluhan atau bahkan ratusan batu di satu tempat, menurutmu apa yang akan terjadi?”

“Ledakan.” Jawaban Evelyn berdasarkan peristiwa nyata, ketika satu – satunya tambang di Kota Abdjaya mengakibatkan bencana. Efek ledakan membuat tanah dan jalan terbelah, rumah rubuh serta ratusan warga terluka. Yang paling mengerikan adalah terkuburnya ribuan pekerja, terjebak dalam lubang sedalam puluhan kilometer di bawah permukaan tanah, entah hidup atau mati. Walaupun bencana itu terjadi puluhan tahun silam, dampaknya masih terasa hingga mencetuskan peraturan sangat ketat terkait batu troka. “Jadi, maksudmu tebakan kemarin ternyata benar?” tanyanya kepada Rama.

Rama menundukkan kepala, termenung menatap denah terakhir yang digambar Evelyn. Ada lebih dari lima puluh titik perak, berkedap – kedip dengan posisi tidak stabil. “Para hama telah bergerak. Evelyn panggil yang lain, aku akan membagi tim.”

Sementara Evelyn menjauh, Rama mendongak ke atas dan membiarkan cahaya bulan membasuh wajah. Langit Niskala telah tiba, warna – warna mencolok yang tak seharusnya muncul di sana menjadi lonceng penanda bagi laki – laki itu. Dia berdoa di dalam hati, berharap perburuan ini akan berakhir bahagia.

****

 “Kenapa juga aku harus dipasangkan sama kamu!!” seru Rania sambil menunjuk lawan bicara. “Pasti kau bakal kabur kayak biasanya, terus muncul di akhir penuh luka – luka.”

“Yang suka kabur itu, kalau bukan Adnian ya kamu,” balas Fajri. “Dasar muka tembok.”

Lihat selengkapnya