Arya sempat bernafas lega ketika bertemu Fajri, mengingat hubungan spesial laki – laki itu dengan sepupunya. Dia yakin bahwa dirinya akan selamat, namun keraguan muncul di kepala ketika orang yang dimaksud bertingkah aneh, bermalas – malasan diantara tumpukan jerami. “Kita ngapain di sini? Mau bengong sampai kapan, sampai ada Akonia lain yang datang?!”
Matanya bertatapan dengan mata Fajri. Sorot kelam tertuju pada Arya, membuat ia serasa ditelanjangi bulat – bulat. “Kalau kamu berpikir bisa selamat karena bertemu denganku, maka kamu salah besar. Keluarga ini sudah tamat,” ucapnya. Tanpa menunggu respon Arya, ia lanjut bicara. “Awalnya aku berpikir untuk menyembunyikan kalian di area gunung sampai mentari tiba, tapi ada beberapa hal yang tidak terpikir olehku.”
Arya membuka telinga lebar – lebar. “Dan apa itu?”
“Kamu adalah mangsa empuk bagi sang penjaga.”
“Mangsa… em- empuk?!! Kau pikir aku babi?”
Fajri tertawa kecil. “Dan tukang jagalmu bukanlah orang yang bisa aku lawan.”
“Enggak mungkin.” Tangannya mencengkram kerah hoodie Fajri. “Kamu dan Intan kan cerdas, pasti kalian berdua punya cara untuk menyelamatkan kami. Iya kan?”
Pertanyaan Arya dijawab dengan tatapan dingin, cengkramannya lepas dan ia melorot ke tanah. Sambil berjongkok, bisikan halus masuk ke telinga. “Pihak kalian yang berkhianat duluan.”
“Mak—maksudmu?”
“Kenapa kalian bisa punya batu troka sebanyak itu? Aku memang membiarkan rencana Intan untuk menyewa orang sebanyak – banyaknya saat hari perburuan. Tapi apa kalian tak pernah terpikir soal gangguan yang bisa disebabkan oleh batu ini?!” Tanpa aba – aba, kepala Arya diinjak hingga pucuk hidungnya mencium kotoran kuda. “Gara – gara benda laknat ini, semua jalur komunikasi sihir Akonia hancur. Bahkan beberapa dari kami kesulitan dalam melancarkan Ra’um sederhana.”
Tekanan di tengkuk dilepas, membuat Arya segera mengangkat kepala secepat kilat. Sambil membersihkan muka dan isi mulut, ia berbicara. “Bu—bukankah itu pertanda bagus?”
“Dasar tolol! Gangguan itu juga berarti merusak artefak sihir yang diberikan Intan padaku.” Fajri berjalan ke ambang pintu, langkahnya seberat palu godam. “Sekarang aku tak ada bedanya seperti orang tuli, bisu, dan buta. Tidak ada cara untuk mengetahui dimana letak keluarga Mutia dan para Akonia. Sang penyambung tidak punya bakat mencari… aku hanya pandai merasuk semata.”
“Tunggu!! Fajri!” Tergopoh – gopoh Arya berlari menyusul. “Kalau pakai ini bagaimana?”
Ekpresi Fajri berubah saat melihat kotak kecil di tangan Arya. Sebuah ponsel lipat berwarna hitam, bandul berbentuk kerang plastik tergantung di tepinya. Dia segera mengutak – atik benda itu dengan mata berbinar. Lebih gampang menemukan rusa jatuh dari langit di Abdjaya, daripada melihat seseorang menggunakan perangkat mahal tersebut. Berkat kebiasaan Fajri membaca majalah teknologi, ia mengenali jenis gawai itu dengan baik. “Bukannya ini keluaran Jepang? Harganya pasti mahal banget.”
“Tapi berguna kan?” Arya cengengesan sambil berkacak pinggang. “Aku dan Intan sampai harus memecahkan tabungan untuk membeli benda tersebut.”
Fajri mengangguk. Bersama – sama mereka menumbukkan pandangan pada layar mungil, tombol mulai dipencet. Dengan cepat ia menemukan nama Intan dan tombol berlambang telepon langsung ditekan. Penuh harap mereka menunggu dengan sabar, satu menit bertumbuh menjadi lima menit. Nada tunggu bernuansa bunga seolah mengolok – ngolok wajah masam dua remaja tanggung itu. Tak ada sambutan dari seberang, membuat Fajri segera menelpon kontak lain.
Nihil, hanya nada kosong yang mengiringi ketegangan diantara keduanya.
“Kamu tahu lokasi pasti dari Om, Tante, dan Intan?” Fajri bertanya sambil menarik belatinya. “Di saat seperti ini, kuharap otakmu berfungsi dengan baik, Arya.”
Gugup menghampiri Arya. Dengan terbata – bata ia berucap, “Ta—tadi saat ma—makan malam, semua setuju untuk berpencar ke empat bangunan utama. Lalu be—bertemu di rumah kaca di area belakang.” Dia berteriak ketakutan sambil menutup mata, yakin kalau belati itu akan berakhir di tubuhnya.
Lama menunggu nasib. Arya tidak merasakan apapun, ia mengintip karena penasaran dan mendapati Fajri sedang sibuk melakukan sesuatu. Sebuah daun hijau berada di genggaman laki – laki itu, berhiaskan gambar yang sulit dilihat sebab ukuran kanvasnya terlampau mungil. “Tintanya berasal dari darahku yang dialiri Ra’um,” ucapnya menjawab rasa penasaran Arya. “Semoga dengan ini kita bisa menemukan yang lain.”
Arya menonton daun bergambar yang terbawa arus angin, tak bisa membayangkan bentuk harapan yang dijanjikan. “Jadi sekarang kita kemana?”
“Karena ada tujuan akhir, maka area terdekat dari rumah kaca adalah bangunan selatan.” Fajri memimpin jalan dengan tenang, seakan ia adalah penghuni tetap kediaman Mutia. “Ngomong – ngomong, aku minta maaf Ya.”
“So—soal apa?”
“Yang di kandang tadi.” Fajri menyodorkan sapu tangan. “Aku terlalu berlebihan, semoga kamu tidak memakan kotoran kuda.”