Akonia Raya

Kamala Loka
Chapter #7

07. Frustasi

Ruangan tempat Rania berdiam saat ini terlihat seperti ruang tamu pada umumnya. Ada sofa panjang, lemari jati besar penuh ukiran rumit, ornamen serta pernak pernik antik bercorak negeri luar terpajang rapi. Tiga akses jalan yang ada hanyalah ilusi, membuat dia malah dipertemukan dengan barang dan perabotan sama, tak berubah satu titik pun.

Tersadar bahwa dirinya masuk jebakan, Rania mulai mencoba beragam cara keluar. Mencabut salah satu bulu sihir di sayapnya untuk mencari celah, terbang mengelilingi area sebanyak sepuluh kali, hingga menghantamkan energi sihir pada bidang rata. Semua berakhir sia – sia.

“Brengsek!! Siapa yang bikin mantra sihir begini sih?!” rutuk Rania. Lantai kayu tempatnya berdiri terasa dingin, angin menembus celah diantara pasak – pasak rumah dan menyentuh kulit. Seakan – akan mengejek dia yang terjebak bagai tikus. Rania membanting pantat ke atas sofa, frustasi sambil berpikir dalam. Komunikasi terputus sejak ia menginjak tanah Mutia. Suara pertempuran di dunia luar menghilang sedari tadi, sunyi telah mengukungnya.

Jari menyentuh dinding kayu, bahkan dengan semua pukulan dan hujaman panah yang dilancarkan, permukaannya tetap mulus. Rania tidak berniat untuk melepas sihir terkuat milik Sang Penjaga, belum waktunya. Kemampuan itu mulanya khusus disiapkan untuk hama spesial yang sampai saat ini masih buron. Tidak menemukan cara lain, gadis itu meraih kantung busur dan mengisi Ra’um murni pada satu anak panah.

Dengan tekad bulat dan tatapan setajam silet, Rania berjalan menuju tengah ruangan dan berhenti pada satu titik. Bangunan – bangunan di Abdjaya umumnya terbuat dari pohon Tarundu, jenis tanaman endemik yang dikenal memiliki daya tahan sebanding baja. Singkatnya lantai tempat gadis itu berpijak tidak akan bisa ditembus sama sekali, tapi bukan Rania namanya bila tidak mencoba.   

Halo emas melayang di atas kepala, menyinari rambut hitamnya yang jatuh menyentuh punggung. Kaki terangkat ke udara, diikuti hembusan angin dari kepakan sayap. Setelah memastikan posisinya sempurna, gadis itu menarik busur dengan nafas tertahan. Panah berisi Ra’um meluncur kencang, garis lintasnya menggoyangkan semua perabot dalam ruangan, juga menciptakan retakan di dinding rumah. Dan…

BOOM!!! Ledakan besar menghasilkan lubang yang menganga lebar, Rania turun sembari menembus kepulan asap berbau melati. Lambat laun cahaya semakin redup, hingga menyisakan penerangan dari kemampuannya sendiri. Gelap, cuma hitam pekat yang bisa ditangkap mata Rania sejauh apapun ia memandang. Jemari tangan menggenggam senjata lebih erat, waspada terhadap sekitar. Rania masih menuruni lubang tanpa akhir sampai terlihat secercah kecil cahaya, tepat di bawah kakinya. Sayap emas Sang Penjaga lenyap. Tubuh Rania jatuh bebas tanpa beban, senyumnya makin lebar seiring gravitasi menarik badan. Dari jarak satu meter, selubung emas membungkus kakinya dan membuat dia mendarat seringan bulu angsa.

Hal pertama yang ditangkap Rania adalah lorong panjang berbau sama seperti kepulan asap, melati. Lantai, dinding, dan langit – langitnya masih terbuat dari kayu Tarundu. Tidak ada pintu atau jendela, suasana tetap sunyi membuat dia tak memiliki pilihan selain menyusuri jalan di depannya. Langkah demi langkah membawa gadis itu pada ujung lorong, sebuah pintu kayu tanpa pegangan.

Kebingungan. Rania bersiap melepaskan pukulan sihirnya sebelum sebuah suara terdengar dari balik pintu. “Bukalah secara perlahan.”

Mendorong pintu menggunakan ujung jari, dia menemukan seorang wanita di atas ranjang mewah. Tubuhnya dibalut night gown sutra berwarna merah, begitu pula dengan lingerie yang mengintip. Sosok itu tersenyum manis, acuh tak acuh pada darah di baju serta wajah Rania. “Wah… ini lah sayap agung Sang Penjaga,” pujinya. Kaki melompat turun dan berjalan mendekat, tangannya menggapai ke depan. “Bolehkan aku menyentuh Halo di kepala kamu, Kusuma?”

“Sialan!!” Rania menampar wajah wanita itu, darah segar jatuh ke lantai. “Jangan menyebutkan namaku dengan mulut kotormu, Maryanih. Kau bukan siapa – siapa.”

“Ya ampun, ternyata rumor yang beredar memang benar adanya,” ucap Maryanih. Dia masih tersenyum, kali ini melangkah mundur dan kembali ke atas ranjang. “Si kembar sifatnya bertolak belakang. Galak dan penakut, bodoh dan cerdas, serta berani dan pecundang. Tidak berubah sedikit pun.”

Rania menatap nyalang kepada Maryanih, tanpa aba – aba menarik busur dan dalam sekejap sebuah anak panah menancap tepat di telapak tangan wanita itu, tembus sampai dinding kamar. Jeritan pilunya merobek keheningan yang sejak tadi menyumbat telinga Rania. Dia membuka salah satu sayap, melayang di udara sambil membersihkan senjata. “Sekali lagi kau berbicara omong kosong soal Kak Rama, panahku akan menembus anggota tubuhmu yang lain.”

“Mengerikan…. Gelar itu memang paling cocok dipegang olehmu.” Maryanih bicara dengan nada sedih. “Ternyata semua yang telah dipersiapkan jauh – jauh hari tidak ada gunanya. Harusnya aku menuntut mereka. Iklan yang dijual palsu, buktinya kamu bisa sampai ke sini kan?”

“Dimana anakmu, si Bajingan itu?”

“Astaga. Kusuma, dimana – mana bila kamu ingin mengetahui sesuatu dari seseorang, maka hal pertama yang perlu kamu perhatikan adalah tata krama. Apa gunanya Tetua Wening memaksa Akonia agar bisa mendapatkan pendidikan dan hidup normal.”

“Aku diajarkan untuk tidak bernegosiasi dengan para hama,” timpal Rania. “Tanpa jawaban darimu, aku bisa mencari sendiri si bajingan dan mencambiknya hidup – hidup. Ah… Lebih bagus kalau itu dikerjakan di sini, tepat di depan matamu?” Seringai lebar membingkai wajah Rania. Halo berkilau terang bersamaan dengan suasana hati yang berbunga - bunga. Setelah muak terjebak looping, dia akhinya bisa melaksanakan tugas Akonia, sedikit demi sedikit menuju kesempurnaan. “Biar aku lepaskan satu panah lagi, barulah si bajingan akan kuburu.”

“Kamu. Apa kamu tidak penasaran dengan semua ini?” tanya Maryanih. Keringat mengalir dari dahi hingga ujung dagu. “Bukankah perburuan kali ini sangat berbeda dari yang lain. Jebakan rumit, batu troka, lalu persiapan yang dibuat kami. Apakah hal itu tidaklah penting bagi Akonia? Bayangkan muka bangga Kakakmu, Kusuma.”

Rania tidak menjawab. Ia tampak berpikir.

Maryanih menyeret tubuhnya dalam posisi nyaman, sisa tangannya meraih gelas berisi minuman. Botol Bollinger champagne tergeletak di pangkuan, bersama charcuterie board tersaji cantik. Wanita itu harus mengulur waktu, membiarkan dirinya sebagai umpan untuk mengeluarkan anak – anak. Dia yakin usulan itu masuk akal dan terdengar menjanjikan bagi Rania. Remaja overprotektif. “Silahkan ambil kertas dan pena di laci,” lanjut Maryanih. “Aku siap bercerita.”

Lihat selengkapnya