Sinar bulan menerangi kota, menyorot tubuh tak bernyawa yang berserakan di kediaman Mutia. Cahaya itu juga menerpa wajah seseorang, dibiaskan kaca patri yang membentuk lukisan–lukisan cantik pada jendela lorong.
Fajri meringis di dalam hati, merasa sedang disoraki oleh pola ukiran rumit setinggi raksasa. Para mata kosong yang kelaparan, hanya berdiam di sini sebagai hiasan semata, butuh hiburan seperti melihat seorang remaja mati dicabik–cabik rekan kerjanya.
“Ran, tolong tenang.” Sambil melangkah mundur, Fajri berusaha menjelaskan. “Ini enggak seperti yang kamu pikirkan. Kali ini berbeda dari empat ta---”
WHUSH!! Sebuah panah melesat kencang dan menggores telinga Fajri. Seiring dengan nyali yang makin merosot, kakinya kembali berjalan sambil mengumpat di dalam hati. Fajri berharap bahwa saat ini dia hanya bermimpi, terbangun dalam kamarnya yang berbau rokok dan cuka, lalu mendengarkan omelan para nenek sihir.
Langkah Fajri terhenti ketika tubuhnya menabrak sesuatu, seringai lebar yang samar terlihat di wajah Rania membuat perasaannya memburuk. Dia menoleh ke belakang, cahaya emas telah membentuk penghalang. “Ran, yang benar saja lah?”
Keluhannya dijawab dengan rentetan panah–panah yang menghujam bagai meteor. Fajri melompat ke berbagai titik lantai, menghindar sambil memindai sekitar. Tempat mereka bertarung sama sekali tidak menguntungkan bagi laki–laki itu. Area ini begitu kosong dan lurus, hanya ada beberapa tiang besar yang rasanya bisa rontok kapan saja. Fajri terus bergerak tanpa henti sampai tubuhnya tiba di balik tiang, memberinya jeda nafas.
Langkah kaki Rania terdengar penuh jumawa diselingi senandung riang. Nyanyian yang membuat bulu kuduk Fajri berdiri tegak. Dia mengenggam erat belati sebelum melemparkannya ke arah Rania, tentu ditepis dengan mudah. Melukai bukanlah tujuan utama Fajri, melainkan momentum saat ia menarik benang merah di tangan kanan. Tubuhnya meluncur menuju tengah lorong, bersamaan ketika belati ia hunuskan ke leher Sang Penjaga.
Rania berkelit, ia menendang perut Fajri lalu mengait tubuhnya dengan kaki hingga tersungkur ke lantai keramik. “Akhirnya kau menunjukkan kemampuan aslimu,” pujinya. Sambil berjongkok gadis itu mengangkat tangan ke udara, sebilah pedang dibuat dari cahaya emas terbentuk. Tanpa aba – aba, Rania menusuk perutnya sendiri sembari tertawa keras. “Ini kan yang kau mau, Fajri?!”
Darah segar mengalir dari bibir dan luka menganga yang timbul di perut. Fajri tak bisa lagi menahan sakit ketika Rania sengaja menekan lututnya, membuat luka baru itu terasa seperti diaduk - aduk menggunakan benda tajam. Dia melolong kesakitan, mengabaikan kebahagiaan dari orang yang menimpa tubuhnya. Masih dengan senyum di wajah, Rania membuka halo di atas kepala dan anak panah mulai menari – nari diantara senar busur. “Selamat tinggal Sang Penyambung,” bisiknya sebelum melepaskan panah.
Apa yang menyambut keduanya bukanlah kematian Fajri atau sorakan bahagia Rania, melainkan hal di luar perkiraan salah satu dari mereka. Busur patah, dipotong oleh belati berselimut benang – benang merah. Benda itu juga berhasil melukai wajah pemilik panah, menyayat pipi sepanjang 3 cm. Kesempatan, Fajri memanfaatkan situasi dengan menendang Rania, mengambil jarak diantara keduanya sejauh lima meter.
Nafas Fajri menderu–deru. Perhitungan dari rencana yang dibuatnya secara mendadak, rupanya berhasil menyelamatkan nyawa, melukai Sang Penjaga, dan memuluskan ide gilanya. Lama dia mengamati Rania yang saat ini menyentuh pipi dengan wajah terkejut. Fajri bisa merasakan amarah yang bisa meledak kapan pun dari gadis itu. Kali ini, harus dia yang memulai serangan. Sambil mengusap darah di wajah, Fajri mengambil ancang – ancang untuk rencana berikutnya.
Dia berlari, tidak ke arah lawan melainkan menapaki udara kosong. Seiring kecepatan yang bertambah membuat Fajri terlihat menyatu dengan sekitar. Rania menjentikkan jari, cahaya emas membalut tubuhnya menjadi tameng. Santai. Dia mengambil duduk di tengah lorong sambil mengamati pergerakan Fajri, berusaha menangkap gerakan Sang Penyambung yang makin rumit.