Di taman sekolah, Evelyn berjalan cepat menuju sesuatu, ke arah seseorang yang saat ini duduk di bawah Pohon Tabebuya. Para penggemarnya mengerubungi bagai lalat buah. Dari kejauhan mereka tampak seperti sekte.
Begitu tiba Evelyn bisa mendengar ucapan tiap murid yang berhasil membuat bulu kuduknya berdiri. Gabungan antara manja, sok imut, dan penasaran dibungkus nada centil. Sambil berdehem pelan, tangan mengambil secarik kertas. “Maaf gadis - gadis, aku butuh artis kalian.”
Suasana langsung senyap. Puluhan mata melirik tajam, diikuti oleh dengus protes. Evelyn tetap bergeming. Mata ungunya memelototi si artis, menyuruh orang itu mengendalikan pengikutnya.
Sosok itu memasang senyum. Bau kejahilan bisa tercium oleh Evelyn, menguar tajam diantara mereka. “Aku baru ingat soal janji sama kamu, Lyn. Tapi yang lain bagaimana? Susah loh mencari waktu belajar bersama kayak gini.” Adnian berkata.
Evelyn menghela nafas. Otak tak seharusnya dipakai untuk menyelesaikan hal bodoh macam ini. Maka dia mengeluarkan jurus andalan yang dapat menaklukan Adnian, apapun situasinya. Mulut gadis itu terbuka tanpa suara. “Rania,” ucapnya.
Detik itu juga, Adnian meraih lengan Evelyn dan merangkulnya akrab. Dia memimpin jalan, meninggalkan para penggemarnya tanpa beban.
“Wah, kamu jahat banget sama mereka,” celetuk Evelyn sambil memandangi wajah muram tiap murid. “Kalau aku sih, gak bakal ngefans lagi. Terlanjur kecewa.”
Adnian tertawa. Kaki melangkah semakin jauh, melewati baris - baris Pohon Trembesi yang membentuk kanopi raksasa. Temaram dan sepi, gedung terdekat cuma gudang arsip tua. Tempat yang sempurna untuk memadu kasih, berbuat nakal, atau membahas topik rahasia. Di salah satu bangku batu, kedua remaja itu mengambil duduk. “Jadi apa yang mau kamu bicarakan?” lanjutnya.
“Bagaimana keadaan di luar sana?”
“Kacau Lyn,” jawab Adnian. “Pemakaman mereka hanya berisi gunjingan, makian, tangis, dan kekerasan. Entah siapa yang memulai gosip tersebut.”
Evelyn dan Adnian sama-sama tahu. Abdjaya sedang diselimuti berita panas, membelah kota menjadi dua. Perburuan hama sepatutnya tertutup rapat, sakral dan menetap dalam bayang - bayang cahaya. Namun, kediaman Mutia ditinggalkan dalam kondisi kacau dengan bau anyir darah yang konon bisa tercium dari pinggiran Distrik Jatarupa hingga tengah kota. Berbagai macam teori, pendapat, dan konspirasi bermunculan di mana - mana, mempertanyakan fakta bahwa Mutia merupakan Hama.
“Aku lihat di televisi dan koran - koran bahwa perburuan ini menjadi berita panas di luar sana. Dari kota besar, pinggir sawah, sampai gang kumuh. Mereka menyebut Abdjaya dengan nama hina. Bukan lagi panggung tanpa tirai, melainkan…”
“Lembah darah,” tandas Adnian. Wajahnya terlihat muak. “Aku tahu semua itu Lyn, jadi berhenti menyebut hal tersebut. Masa di sekolah ini juga sih yang dibahas?”
“Narakuswa juga heboh?”
“Banget, apalagi bagian inti yang isinya tujuh keluarga itu. Mereka berusaha keras memperbaiki citra Abdjaya. Dari pemakaman Mutia yang dipoles seolah mereka mati akibat perampokan, para pelayat menangis tersedu-sedu, hingga campur tangan keluarga Rasmi pada beberapa media besar untuk meredam kekacauan.
“Kamu ngomong kayak seolah - olah bukan Narakuswa aja” sahut Evelyn. “Memang sih, perburuan kali ini berakhir kacau. Beberapa temanku bahkan mulai bertanya-tanya tentang Akonia, kenapa mereka jadi algojo hama, sampai ke hal rumit kayak bukti Mutia itu berdosa.”
“Tapi aku rasa tidak ada yang tahu soal itu, iya kan?”
Evelyn mengangkat bahu. Paham bahwa pertanyaan Adnian lebih seperti pembenaran, meyakinkan diri tentang kegagalan mereka dalam menghabisi semua hama. “Lagipula Abdjaya semakin terbuka pada dunia luar, pelan tapi pasti kita memang harus beradaptasi pada pertanyaan - pertanyaan terkait sihir dan magis.”
“Ibuku bilang sedang dicanangkan regulasi baru tentang hal itu. Soal mantra penghapus memori massal atau sejenis itu lah, mungkin akan mengajak kerjasama orang - orang IPL atau peneliti Puri.” Adnian merebahkan punggung. “Ganti topik dong. Aku udah bosen mendengar hal ini di lorong rumah, meja makan, bahkan tempat parkir mobil.”
“Wah, kayaknya kamu emang sial deh, Adnian.” Evelyn tertawa ringan. “Justru aku butuh bantuanmu soal ini, karena yang lain sedang tidak baik - baik saja. Cuma kita yang sehat loh.”
Adnian memutar bola mata. Tanpa ditanya, gestur tubuhnya sudah menunjukkan keengganan. “Hal kayak gitu kan tanggung jawab Galuh, Fajri, sama Rama. Aku sudah pusing jadi Ketua OSIS.”
“О мой бог,” sela Evelyn cepat. “Tolong peka yang wahai Purnama Adnian. Semua orang yang kamu sebut itu sedang kacau balau. Boro-boro mengurus administrasi, memegang pensil saja mungkin tak mampu.”
“Dih… tapi Rama kan sehat - sehat saja.”
“Ya, karena dia sehat makanya butuh bantuan. Anak itu disibukkan dengan bolak - balik ke Puri Katri. Aku bertaruh bahwa Rama sedang memikirkan cara bicara di depan umum, terutama menghadapi orang - orang dewasa seperti mereka.”
Ekspresi Adnian merenggut, bibir ia tekuk dalam - dalam.
“Kalau kamu berpikir untuk memaksa Fajri, maka buang jauh - jauh hal tersebut. Kondisi dia dan Rania itu paling parah diantara kita bertujuh, entah ide siapa yang bikin mereka dirawat di kamar sama. Masih untung sejauh ini belum ada berita apapun dari sana.”
“Berarti sisa Ga—”
“Jangan mengusik bocah itu,” potong Evelyn.
“Tapi dia gak kenapa - napa kan? Fisiknya sehat sama seperti kita loh, Lyn?!”