Akonia Raya

Kamala Loka
Chapter #11

11. Ilusi Nyata

Bulan menggantung tinggi, seperti mata dewa yang menyaksikan segalanya. Dingin menusuk, tapi bukan itu yang membuat tubuh Rama terasa terbakar. Jantungnya berdetak terlalu keras untuk sebuah malam yang sunyi. Sejak keluar dari gedung rumah sakit, Rama bisu. Dia hanya mengikuti Rania yang entah menuntunnya kemana. Kepala terus menunduk. Cuma ada rumput, batu kerikil, dan kehampaan tertangkap mata. 

Terdengar langkah kaki berhenti, pemiliknya berbalik dan terdiam. Hening. Suara nafas mereka saling mengejar, yang satu penuh amarah, sedang yang lain tipis bagai mayat hidup. Gaun pasien di tubuh Rania terhembus angin, menunjukkan kedua kaki penuh bekas luka, seolah mengejek nurani kakaknya. “Aku minta maaf,” ucap Rama gemetar. 

“Kenapa aku harus tahu hal ini dari orang lain?” tanya Rania tanpa basa basi. Suaranya parau, tangis hampir pecah.

Rama mengangkat kepala, menyesali keputusannya tersebut. Hatinya teriris tajam, mendapati adiknya itu memasang ekspresi kecewa. Sorot mata Rania penuh luka, cemas, dan kesedihan yang mendalam. “Bu–bukan begitu Ran, aku cuma…”

“Cuma apa?!” potongnya tajam. Tangan Rania terkepal kencang hingga buku-buku jarinya memutih. “Cuma nunggu sampai kamu mati dan aku tahu dari orang lain lagi? Kamu pikir aku terlalu tolol buat tahu hal sepenting itu?” suaranya terus naik. 

“Jangan ngomong begitu,” kata Rama cepat. Tangannya bergerak, terulur tanpa sadar. “Aku cuma perlu waktu lebih Ran, penyakit mengerikan ini perlu pemeriksaan mendalam.”

Rania tertawa getir, matanya sudah berkaca-kaca. “Jadi lebih bagus kalau aku dengar berita penting begini dari orang lain ya?”

Rahang Rama mengeras, lidahnya kelu. “Ka… kamu dengerin Kakak dulu Ran.”

“Kamu selalu begitu, menyembunyikan semuanya sampai hancur tak bersisa. Sejak kecil, kamu tidak pernah berubah Kak,” lanjut Rania. Bulir air bergulir lagi di pipi. “Kamu egois.”

Kalimat terakhir menusuk Rama. Mulut terkunci, sadar bahwa ia tak bisa membantah sama sekali. 

“Dari dulu, aku selalu jadi orang terakhir yang tahu kondisimu. Kita ini satu darah, satu rumah, satu sekolah, satu pekerjaan. Tapi aku bahkan tak tahu tentang Piroga yang menyerangmu,” ucap Rania. Suaranya parau, tercekat oleh air mata. “Sekarang aku berpikir, kamu nganggep aku ini apa Kak? Keluarga atau parasit.”

Rasa mual tiba-tiba menghantam Rama, membungkamnya. Dalam diam, ia melihat saudari kembarnya terisak-isak. Kali ini terdengar lebih pilu, suram, dan mengecilkan wujud Rania hingga setara liliput. Tak ada lagi Sang Penjaga si terkuat, hanya ada gadis kesakitan yang tiap tangisnya membuat laki - laki itu kesulitan bernafas. 

“Pi…Piroga itu berbahaya,” ujar Rania. Suaranya melemah. “Aku gak mau sendirian lagi, cuma ada Kak Rama di h…hidup aku. Ka…kakak yang paling penting.”

Rama mendekat, perlahan memeluknya. Pelukan itu ganjil, canggung, dan penuh kehati-hatian seolah dia menganggap Rania bisa pecah kapan saja. “Maaf Ra…Rania. Tolong maafkan kakakmu yang bodoh ini.”

Rania tidak menjawab, tangisnya terbenam di dada kakaknya. 

“Aku gak bakal ninggalin keluarga satu-satunya,” bisik Rama. “Di sisi dunia ini, teknologi berkembang lebih pesat dari yang kamu duga. Aku rajin minum penahan sakit, rajin konsultasi dengan dokter, dan mengatur asupan nutrisi. Apapun gejala tubuhku, pasti akan kuberitahu padamu.” 

“Kakak janji?”

“Janji.” Rama berkata tanpa ragu, matanya membara. “Sejak awal aku memang penyakitan, jadi lemas dan muntah adalah hal biasa yang sering kuabaikan. Tapi kali ini, aku akan peduli. Kalau aku ke rumah sakit, kamu ikut. Kalau aku malas terapi, paksa. Tapi, aku janji tidak akan merepotkanmu.”

Si kembar berpelukan cukup lama. Angin malam berhembus lembut, menggerakan awan-awan dan memuluskan penampilan sang rembulan. Terang, dengan cahaya peraknya menyinari apa saja. Dedaunan, atap rumah, serta pucuk kepala. 

“Kamu mau balik ke kamar atau gimana?” tanya Rama lembut. 

Ada jejak cucuran air mata di wajah Rania, berpadu dengan senyum lebarnya. Jari menunjuk sesuatu. “Kesana Kak, ayo kita ke tempat itu.” 

Rama paham tempat yang dimaksud adiknya. Dia memimpin jalan, menggandeng tangan Rania selembut mungkin. Murni memakai tenaga sendiri, ia membantu gadis itu melompati sungai kecil, memapahnya ketika berjalan di tapak licin, dan membimbingnya melewati semak setinggi betis. Begitu tiba di tujuan, hal pertama yang dilakukan Rama adalah membersihkan telapak kaki Rania, mengusir tiap debu dan kotoran hingga tak tersisa. 

Area taman ini biasanya ramai. Tapi malam ini sangat sunyi, hanya ada gemericik air mancur serta bayangan patung marmer yang menemani mereka. Patung anak laki-laki yang sedang memilin akar pohon, diletakkan sejajar pandangan mata. Pahatan super realistis, terbuat dari marmer Yunani yang jadi bahan utama pada sebagian besar bangunan rumah sakit. Rania cuma peduli dengan fakta bahwa saat ini, detik ini. Area sepi dan damai. 

“Aku minta maaf Rania, ini terakhir kalinya. Aku serius.”

Rania menatap wajah kakaknya itu, ada rasa takut bercampur khawatir yang terpancar di balik kacamata. Tangan menyentuh pipi Rama, mengusap bulir air mata. “Kenapa Kakak menangis?”

Rama menggeleng pelan. “Gak tahu, tiba-tiba aja. Padahal aku sudah berusaha menahan diri, mau kelihatan keren di depan kamu.”

“Kakak selalu keren kok di mataku.”

Lihat selengkapnya