Akonia Raya

Kamala Loka
Chapter #12

12. Letup

Piroga.

Sejak pertemuan terakhir dengan Rama, nama itu terus menghantuinya. Alih-alih beristirahat sepulang dari rumah sakit, ia justru tenggelam dalam buku-buku milik kakaknya, mengurai tiap kalimat demi mencari petunjuk. Rania baru berhenti ketika kokok ayam menandakan pagi tiba.

Rania terlambat ke sekolah, merangsek masuk menuju kelas tanpa dosa. Semua orang terkejut tapi tak ada yang berani bertanya, terutama ketika melihat penampilan gadis itu. Rambut dan seragam berantakan, wajah kuyu, serta tubuh berbalut perban. Dia mengabaikan panggilan Adnian, sapaan takut teman sekelasnya, sampai pertanyaan guru. Rania memilih tidur saja. 

 Bel istirahat pertama berdentang jadi penanda baginya untuk pergi. 

Dengan langkah pelan dan tidak bertenaga, ia menyusuri lorong yang dipenuhi murid-murid. Perutnya berbunyi, tersadar bahwa makanan terakhir di lambungnya adalah sajian rumah sakit. Hambar. Tapi saat ini, Rania sama sekali tak berselera. Keramaian kantin ia lewati begitu saja, bahkan wangi mie ayam langganan gagal menarik nafsu makan. Gontai, dia melanjutkan perjalanan hingga tiba di gedung utama dan kaki menuntunnya ke tempat itu. 

Perpustakaan. 

Terlalu lelah menjadi alasan terbesar Rania menjejakkan kaki ke dalam sana. Sebuah tempat yang tak pernah ia datangi dari SD sampai SMU. Baginya, perpustakaan lebih mirip penjara berisi buku-buku tebal, teman satu sel berupa murid kutu buku, serta sipir super galak yang saat ini sedang memelototinya. 

“Ngapain kamu ke sini?!” 

Rania mendongak malas. “Mau belajar Bu.”

Guru jaga itu mengusap dahi, terkejut melihat murid paling ditakuti seisi sekolah. Dengan waspada ia menunjuk kursi. “Duduk sana.” Kekacauan yang dinanti tak terbukti sebab Rania hanya berlalu tenang, tanpa sedikitpun membuat keributan.

Sambil berjalan pelan, mata hijaunya memindai isi perpustakaan. Setelah mengamati sejenak, pada akhirnya ia mendaratkan pilihan pada satu tempat. Sebuah petak kecil di antara rak-rak buku sejarah dan fisika. Karpet tebal berwarna ungu tua segera memeluknya dan Rania berselonjor di lantai. Mata terpejam, mengabaikan suara kaget orang-orang yang lewat, serta bisik-bisik soal dirinya. 

“Kok si Rania malah sedih sih? Harusnya kan dia senang. Gara-gara si Arya mati jadi gak ada yang bakal gangguin Rama.”

“Ih, suara kamu kencang banget.” Temannya menimpali sambil memasang wajah panik. “Nanti dia bangun. Kamu mau ditonjok sama dia?”

Si gadis melirik Rania sekilas. “Santai, lagian dia lagi tidur gitu.”

“Udah deh, ayo pergi. Buku yang aku cari juga udah ketemu,” pinta si laki-laki sambil menarik tangan temannya. Suara kaki mereka terdengar menjauh.  

Meski terlelap, otak Rania terus bekerja secara otomatis mengelompokkan bisik-bisik di sekolah: Festival Onia, pemakaman keluarga Mutia, dan rumor seputar nama baru bagi pemilik Ra’um.

Tapi semua itu tidak berguna, tidak ada satupun yang bisa membantunya menemukan petunjuk soal Piroga. Nama sialan terus mengejar, mengacaukan suasana hati, serta mengganggu mimpinya. Dia bersiap meninju batu besar yang menghadang, ketika mendadak ada ribuan tangan menjerat kakinya. Rania ditarik ke tempat gelap. Tubuh tak bisa bergerak dan nafas perlahan terasa sesak, mencekiknya kuat-kuat. 

“RANIA!!” 

Mata terbuka perlahan. Cahaya terang lampu perpustakaan tertutupi oleh bayangan besar, orang-orang memancarkan berbagai ekspresi. Dua murid yang berjongkok di dekatnya langsung membentangkan jaket, menyelimuti tubuh Rania. Belum sempat bertanya, ia sudah dibawa ke ruang kecil di dalam perpustakaan. Suara familiar memanggilnya.

“Kamu kenapa?” 

“Aku ketiduran.”

“Enggak Ran…” Evelyn menggenggam pergelangan tangan Rania, seperti mengukur sesuatu. “Kamu hampir mati.”

Lihat selengkapnya