Akonia Raya

Kamala Loka
Chapter #13

13. Misi Baru

Kalau bukan karena urusan mendesak, Rania ogah mendatangi Puri Katri. Setiap tapak kakinya terasa seperti memutar kembali kaset usang berisi kenangan buruk ketika dia dan Rama kecil jadi tontonan puluhan orang dewasa. Ujung rambut dicium, leher diukur, kuku dan gigi diraba-raba. Pemeriksaan ganjil yang masih tercetak jelas di ingatan Rania. 

Jijik. Kata itu berdengung dalam kepala, makin nyaring saat ia melangkah lebih dalam ke area seluas 70 hektar yang jadi jantung keagamaan, sedikit pemerintahan, dan penuh pengetahuan Abdjaya. Puri Katri tak pernah tidur, orang-orang hilir mudik ibarat koloni semut.

Rania terus berjalan, melewati murid-murid SD yang memeluk tangkai mawar setinggi tiga meter, juga sekelompok mahasiswa IPL dengan tas berbau akar rebus. Tepat sebelum menyeberangi Sungai Uer, gadis itu berpapasan dengan Katrian. Para penghuni kuil, dianggap orang suci serta kelompok yang paling dihindarinya. Aroma dupa bunga Koro mendahului langkah kaku mereka, tiga orang itu menyapa sambil tersenyum sopan dengan kepala menunduk. Tengkuk Rania merinding dan membuatnya mempercepat langkah, nyaris berlari tanpa menoleh.

Tak butuh waktu lama hingga gadis itu tiba di tujuan. Di hadapannya berdiri sebuah bangunan besar berbentuk rumah panggung tiga tingkat. Dengan atap seolah menembus awan, memancarkan rona bumi nan gagah di bawah cahaya mentari. Di hadapan Rania berdiri Perpustakaan Yanam. Bangunan terakhir di Kota Abdjaya yang sepenuhnya dibuat dari kayu Tarundu, tiang-tiangnya sebesar tubuh manusia menjulang kokoh menyambut siapa pun.

Saat menaiki anak tangga, Rania bisa mendengar pekik kagum para turis. Mereka mendongak, menatap ukiran pejuang Abdjaya dengan mulut terbuka. Karya kuno yang dibalut lekuk akar dan ribuan dedaunan. Rania mengabaikan mereka, fokus tertuju pada meja resepsionis. Di sana, seorang petugas tua setengah botak menghentikan kegiatannya ketika melihat gadis itu mendekat. “Cari apa, Nak?”

“Damuatma ada di bagian mana?” Rania tidak berbasa-basi.

“Itu apa ya, Nak? Sejenis makanan kah?”

Rania menarik napas pendek, menahan amarah yang mulai naik ke tenggorokan. Jari-jarinya mengetuk meja, menciptakan ritme teratur dan menekan. “Dengarkan baik-baik,” ucapnya. Suara ia tertahan namun tajam. “Aku tanya sekali lagi. Damuatma ada di mana?”

Manik berbeda warnanya kokoh, menatap lurus.

“Ah, maaf ya, Nak. Mungkin karena saya sudah tua, jadi agak budeg.” Petugas itu terdiam sejenak sebelum akhirnya bicara lagi. “Saya ingin membantu, tapi saya benaran belum pernah dengar soal Damuatma. Apa itu nama toko? Atau mungkin jenis tanaman baru di Abdjaya?”

Polos. Tatapan, gestur tubuh, dan nada suaranya penuh keluguan. Dari cara ia bicara, jelas pria tua itu tidak memahami maksud Rania sama sekali.

Sekejap, rasa panas di dada naik. Dia bisa saja membentak sekarang, membiarkan emosi meledak. Namun sebuah bisikan halus menyentuh nurani, bertanya apakah pantas menyemprot orang yang tak tahu apa-apa?

Rania menarik napas panjang. Kejengkelan yang tadi mendesak keluar berubah jadi buih laut, menguap perlahan. Ia kehilangan minat dan memilih berlalu, melangkah masuk ke perpustakaan sambil meninggalkan si petugas yang kini hanya menatap bingung.

Wangi kayu bercampur bau kertas tua langsung menyergap hidung Rania, menciptakan sensasi geli yang tak bisa dikontrol tubuh. Ia bersin. Begitu keras, kencang, dan membahana. Spontan, beberapa kepala menoleh padanya. Jelas mereka terganggu, ruang pikiran diusik oleh suara tak berguna. Di bawah tatapan tajam pengunjung lain, Rania duduk dan melempar tasnya ke sembarang meja. Lagi - lagi terdengar berisik. 

Rania menopang dagu. Pemandangan di sekitarnya tampak asing sekaligus familiar. Rak-rak setinggi gedung lima lantai berderet tertangkap mata, melengkung dan berbaris rapi di antara sela-sela jendela. Meja, bilik belajar, hingga sofa empuk terhampar luas, dihuni para manusia berwajah serius. Tak lupa ada akar-akar raksasa yang terus bergerak konstan tanpa henti, sibuk mengatur ribuan buku berdasarkan ulir mantra yang ditanam. Tempat ini mengingatkan Rania pada Rama, kakak yang selalu memuja hal-hal teknis dengan mata berbinar, seolah semua benda sihir di dunia ini punya jiwa.

Sayang, dia tak bisa menemui kakaknya. Meski secara teknis mereka berada di area yang sama, nyaris bersebelahan. Dari jendela besar di seberang mata, terlihat pucuk atap sebuah bangunan, tempat yang tak bisa ditembus meski lambang Akonia miliknya jelas terpampang. Tak ingin larut dalam kesedihan, Rania berdiri. Tangannya terkepal, menggenggam tekad yang tertuang ke sobekan kertas.

Langkah kaki menuntunnya ke mesin pencari, sebuah tablet batu tanpa antrian. Benda itu melayang, bergerak otomatis menyesuaikan jarak pandang pengunjung. Bentuk kenyamanan kecil yang seringkali luput dari perhatian. Rania bisa merasakan getaran halus ketika menyentuh permukaan tablet, mengatur beberapa fungsi dan ruang kecil terbuka, tempat ia perlahan meletakkan kertas di tangannya. 

Tablet mendengung tanpa henti. Sepuluh menit berlalu, Rania sadar ada yang salah. Alat itu seharusnya menampilkan hasil secepat kilat—Rama pernah menyebutnya sebagai karya terbaik para peneliti Abdjaya. Kini, teknologi yang dulu hanya ia dengar dari cerita terasa jauh lebih rapuh dari yang dibayangkan.

Gelisah, tanpa sadar ia menggigiti kuku jemari, jantungnya berdegup sampai tak terdengar apa pun selain dengungan mesin. Waktu berjalan lagi tanpa perubahan. Alat itu terbukti payah. Frustrasi, Rania menghantamnya tanpa ampun. Para petugas yang curiga sejak tadi bergerak taktis, muncul dari udara dan tanah. 

Seolah peka, suara dengung samar menghilang dan nyaris tenggelam diantara keributan. Rania menghentakkan tubuh, melemparkan lima pria dewasa yang  mencengkramnya ke udara. Senyum muncul di wajah, penantian telah berakhir. Namun, harapan tersebut nyatanya terlalu muluk.

Tablet batu meledak.

Lihat selengkapnya