Wajah Rama memucat seiring mata dan telinga mendengarkan isi layar. Pengumuman tadi bagai petir di siang bolong, datang entah dari mana dan sukses membuatnya gelisah bukan main. Tatapan pria di layar seolah menghina Rama diam-diam. Bola siar telah mati, meninggalkan kesunyian kokoh yang mencekik.
Narkoba? Kepala Rama mendadak sakit. Memori perburuan terakhir menyeruak dalam otak, cipratan darah hingga raut-raut kematian kembali terputar di hadapannya. Rama yakin seratus persen. Melalui validasi silang dari laporan perburuan buatan yang lain—Evelyn dan Adnian—serta data primer yang dikumpulkan Akonia seperti biasa. Semuanya dipilah, dirapikan menjadi laporan detail nan akurat yang menghasilkan satu jawaban.
Keluarga Mutia seperti keluarga kaya biasa di Abdjaya. Mereka memiliki bisnis di bidang properti, real estate, dan sedikit investasi ke industri dirgantara. Tidak ada satu kata pun yang mencantumkan tentang narkoba, obat terlarang, apalagi ganja dan semacamnya.
Udara terasa dingin, berhembus mengikis tulang. Sumber cahaya hanya berasal dari lentera-lentera yang menempel pada dinding batu, apinya berwarna hitam legam. Mungkin itu juga penyebab dari nuansa muram di sekitar Rama, bersamaan dengan langit-langit gelap yang tidak bisa dicapai cahaya. Di balik tiga jendela raksasa berlengkung halus, terbentang luas kabut dengan denyut mirip makhluk hidup. Dan Rama yakin, ada retakan kecil di atas sihir pelindungnya.
Wajar ia khawatir. Sihir itu satu-satunya batas rapuh antara ruang rapat dan apa pun yang mengintai di luar. Kadang muncul siluet tangan, kadang wajah manusia. Menyeringai penuh kesakitan, menatap lamat-lamat seolah ingin menyeret apa saja.
Rama menunduk sampai pandangan mata beradu dengan permukaan meja. Hening memeluknya, memberi ruang aman sekaligus mempertajam indera tubuhnya. Gemericik air, dengung lapisan sihir, dan langkah kaki dari puluhan manusia. Suara-suara itu bukan lagi sekadar bunyi, tapi siksaan yang perlahan menyusup ke kepala. Pintu besar di ujung ruang rapat mengeluarkan bunyi decit, seperti tikus terjepit perangkap. Para peserta memasuki ruangan, beriringan bersama dengan bisik dan gunjing, layaknya duri tajam.
Di tidak perlu mendongak untuk tahu siapa saja pengisi rapat. Semua orang jelas mengarahkan pandangan padanya. Jenis tatapan penuh spekulasi, ironi, dan makian yang tak terucap. Meja rapat dari batu oniks tampak seperti cermin, sempurna memantulkan wajah Rama yang nyaris seputih kertas.
“Wah, kamu datang kali ini?” Seorang pria tua merangkul Rama, terasa berat dan janggal. “Biasanya kan yang hadir dari pihak Akonia. Kalau bukan Adnian, Galuh, atau si rambut merah. Siapa namanya?”
“Evelyn.” Seorang wanita berambut perak tertawa getir. “Tolong berhenti Soewandi, akting anda terlalu menjijikkan. Bikin bau saja.”
Soewandi tertawa keras. Masih dengan tangan merangkul bahu Rama, mengabaikan wajah tak nyaman laki-laki itu. “Kau selalu galak begini ya, Tutik. Kasihan sama suami dan anak-anak kau di rumah. Pantesan Kartolo kelihatan tambah kurus saja, sudah kamu kasih obat belum? Saya tahu ora—”
“Busuk sekali,” potong Tutik sambil mengibas tangannya. "Mulut anda memang tidak pernah disekolahkan ya? Sesuai dengan latar keluarga kalian yang hidup dari mengumpulkan kerikil kotor di jalanan.” Mulutnya makin tajam. “Wajah Pak Soewandi kok jadi merah? Anda kepanasan, malu, atau gimana?”
“Ejek aku sepuasmu Tutik.” Dengan seringai lebar, pria itu melepas kasar rangkulannya pada Rama. “Yang pasti kekayaan kami, para Kanin jauh melampaui semua orang di sini.”
“Termasuk akal sehat yang anda jual ke pasar loak?”
“Setidaknya aku masih punya sesuatu untuk dijual, bukan cuma bermodalkan mulut nyinyir dengan bau amis nan menjijikan.”
Tawa kecil terdengar dari sudut meja, Tutik menoleh dengan wajah jengkel Dia menatap lurus, salah satu peserta rapat mendadak rubuh. Orang itu menggeliat kesakitan, tangannya berusaha menahan sesuatu yang tak terlihat dan mata berputar liar seperti hewan di penjagalan. Beberapa peserta acuh tak acuh, sibuk membuka berkas di tangan atau mengobrol dengan orang di sebelahnya. Cuma segelintir orang yang cukup berbaik hati, mengantar korban keluarga Purnama keluar dari ruang rapat.
Rama tak bergerak. Ia sudah terbiasa menyaksikan kebiadaban berwujud percakapan.
Soewandi masih belum puas tertawa ketika dentuman kecil terdengar, disusul desiran udara yang menekan seluruh ruang. ‘Kaca’ jendela bergoyang pelan, api-api lentera merunduk patuh menuju sumber suara.
“Cukup,” ucap seseorang dari ujung meja utama. Nada suaranya lembut dan dingin seperti bilah logam. “Rapat ini bukan pelatihan. Pak Soewandi, Nyonya Tutik, bila kedapatan bertengkar lagi maka saya tidak segan untuk mengeluarkan kalian. Tujuan kita bersusah payah meluangkan waktu, tentu bukan untuk berdebat mengenai asal usul leluhur masing-masing. Peringatan ini juga berlaku bagi peserta lain, termasuk yang paling muda sekalipun.”
Pandangan dari puluhan mata perlahan beralih ke satu arah, ke sosok berkacamata yang berusaha terlihat kuat. Rama.
“Namun,” lanjutnya, sejenak ikut menatap Rama. “Sepertinya pembicaraan kalian mengandung relevansi pada topik hari ini.”
Kursi-kursi berderit pelan. Beberapa peserta lain mulai berbisik lagi, kali ini tanpa berusaha menyembunyikannya.
“Dia datang sendiri.”
“Tumben tidak mengirim anak buahnya.”
“Berarti alasan dia soal sakit selama ini, bohong dong?! Dasar anak sialan.”
“Berani-beraninya dia menampakkan diri setelah berbuat kacau.”