Semua berjalan terlalu cepat baginya. Lima menit lalu dia masih melihat orang-orang berdebat panas, saling memaki, dan potongan kepala menggelinding di lantai batu. Sekarang, Rama berada di tempat yang sepenuhnya berbeda.
Sinar matahari menembus rimbun pepohonan, menggoyangkan lonceng-lonceng yang berdering lembut. Kantin semi-terbuka dipenuhi Katrian membawa baki-baki penuh makanan lezat. Di luar dari beberapa pasang mata yang diam-diam mengamatinya, tempat ini begitu nyaman, hangat dan—
“Tenang?”
Rama terkejut, reflek menoleh ke sumber suara. Seorang pria muda mengambil duduk di depannya sambil meletakkan baki kayu. Dalam kedipan mata, meja telah selesai ditata. Ada pepes tahu, tumis kangkung, orek tempe, dan setangkup nasi putih berhiaskan sambal terasi. “Ayo Rama, cepat disantap.”
“Sebelum itu…”
“Kenapa? Apa makanan kuil kurang cocok buat selera kamu?”
“Ada yang ingin saya tanyakan ke Pak Satrio.”
“Hyang Katri, Rama! Aku sudah bilang berhenti memanggilku begitu.” Satrio mengerutkan dahi. “Kamu panggil aku pakai Kak, Bang, atau Mas. Terserah, senyaman kamu saja. Yang penting gak formal dan kaku begini, bikin merinding tahu.”
“Maaf Ka-Kak Satrio.” Ada kegetiran di ujung lidahnya. “K–kalau boleh tahu, kenapa saya dipanggil ke sini?”
“Kamu memang sekaku ini ya?” Pertanyaan Satrio mengubah raut muka Rama, membuat ia buru-buru meralat. “Santai. Aku ngajak kamu kesini bukan untuk ditanya-tanya. Murni buat makan saja, sekalian memenuhi janjiku ke Rania.”
Mata Rama berkedip dua kali, nama itu langsung menarik perhatian.
“Rania selalu minta aku buat melindungi kamu, terutama pada tempat-tempat yang tak bisa ia datangi, misal seperti disini.” Satrio mencubit pepes, mengaduknya bersama nasi sebelum mengantarkan hidangan itu ke mulut. “Jadi…apa yang mau kamu tanya ?”
“Tanya? Tidak ada yang mau saya tanyakan ke Kak Tio.”
“Eh, jangan bohong,” ujar Satrio. Sorot matanya penuh selidik. “Dari tampang kamu kelihatan banget ada yang dipendam. Lagian ya, kalau bohong di sini nanti dosamu jadi double. Mau?”
Ancaman itu terdengar menggelikan, hambar bagi seseorang berlumur darah seperti Rama. Meski terlihat santai dan penuh canda, wibawa tipis keluarga berkuasa masih menempel pada Satrio. Ditunjukkan melalui gerak tubuh, kosakata, sampai responnya saat mengobrol dengan orang lain. Berdasarkan cerita Rania mengenai pria itu, jelas ada banyak informasi yang terdistorsi, antara berlebihan atau terlalu direndahkan.
“Jadi saya boleh tanya apapun?” tanya Rama penuh kehati-hatian.
Satrio mengunyah makanannya sambil mengangguk kecil.
“Apa perintah tadi benar turun dari Tetua Desa?”
“Iya, Rama. Perintah yang menolongmu itu seratus persen asli, berasal dari salah satu Tetua yang tentu tak bisa kusebut namanya. Jujur aku juga kaget, gak ada yang menyangka bahwa Rapat Tiga Bulan tadi benar-benar dipantau secara khusus oleh pihak atas.”
“Lalu tadi, waktu kepala keluarga Akasa membela saya, itu murni keinginan beliau atau berakar dari permintaan orang lain?”
“Menurut kamu gimana?”
“Tuan Mahendra bukan tipe orang begitu, sedangkan setahu saya tidak ada keluarga Akasa lain yang cukup dekat dengan kami. Kecuali…,” Rama tersendat. Baru menyadari kesalahan, mengungkit masalah internal salah satu Narakuswa yang saking besarnya telah menjadi rahasia umum di Abdjaya. “Kak Tio yang minta?”
“Enggak dong.” Satrio tertawa. “Aku bahkan gak ingat kapan terakhir pulang ke sana. Bagiku tempat ini adalah rumah, rumah yang sesungguhnya.”
“Maaf,” sahut Rama cepat. “Saya salah bicara.”
Satrio mengibaskan tangan sambil berdiri. “Sudah, santai saja. Aku mau ngambil nasi sama minum lagi, kamu mau nambah juga?”
Rama mengangguk sopan, sementara pikirannya sibuk berkelana. Kisah Satrio kembali terputar. Kala itu cukup ramai dibahas, wajahnya mewarnai koran dan media nasional selama berbulan-bulan.
Dikenal sebagai Akasa berbeda. Sempat digadang-gadang akan menjadi kepala keluarga termuda sejak 341 tahun. Tapi penyakit jantung bawaan serta rumor dari ketidakadaan Ra’um di tubuh, membuat ia otomatis tersingkir. Orang-orang sempat gempar tatkala Satrio mengumumkan bahwa dirinya telah melepas hak waris dan wewenang khusus Narakuswa, lalu beralih menjadi Katrian. Kuil Rarya memang berpengaruh, tapi tetap tak sebanding dengan privilege keluarga Akasa.
Itu adalah pandangan orang awam. Penduduk biasa yang cuma melihat Abdjaya dari permukaan semata. Banyak yang bilang kalau Satrio sudah gila, sedangkan yang lain menyebutnya kena guna-guna orang kuil.