Rauna berjalan riang memasuki halaman rumah bernomor sebelas. Kakinya yang dibalut sepatu putih bersih berayun beriringan dengan gumaman asal dari mulutnya. Bel yang harus Rauna tekan berada di sisi kiri pintu sehingga dia membawa kakinya ke sana. Namun, pintu berdaun dua tersebut sudah terlebih dahulu terbuka dari dalam. Senyum Rauna luntur seketika.
Sang Tersangka adalah Gaung, kekasih sepupunya sejak kelas sembilan SMP. Pertemuan pertama Rauna dan Gaung adalah saat hari pertama MPLS SMA. Andya yang mengenalkannya secara langsung dengan cengiran malu-malu. Pertemuan kedua dan seterusnya menyusul secara taksengaja karena mereka satu sekolah. Minus sapaan, apalagi senyum. Hingga entah pertemuan keberapa, Rauna yang kala itu tengah membeli semangkuk mie ayam di kantin, tiba-tiba saja merasakan lengannya dicolek. Dia menoleh dan mendapati Gaung sedang menatapnya tanpa ekspresi.
“Sekalian bayarin, ya. Gue enggak bawa duit,” ujar lelaki itu, kemudian berlalu sembari membawa semangkuk bakso dan es teh manisnya. Ha!
Rauna ikhlas, kok. Meski uangnya tidak dikembalikan dan diminta dengan kurang ajar, Rauna ikhlas. Insyaallah.
“Eumm, Andya ada?”
“Dia mau pergi sama gue.” Gaung dengan cepat menjawab pertanyaan Rauna.
“Om Digan–”
“Enggak ada.”
Mata Rauna memicing, dongkol dengan sikap tidak sopan Gaung. Dia lalu menjulurkan lehernya agar bisa menatap ke dalam, tetapi Gaung ikut menggerakkan tubuhnya juga sehingga pandangannya terus terhalangi.
“Andyanya mana?” tanya Rauna ketus.
“Lagi mandi.”
“Bilang sama dia, aku datang ke sini.”
Gaung bergumam singkat.
“Permisi!” Rauna berpamitan dengan setengah membentak, lantas berbalik pergi. Sambil menyusuri halaman rumah Andya, mulutnya menggerutu. “Andya, kok, bisa-bisanya pacaran sama orang sombong begitu!” Kakinya diam sebentar agar dia bisa menoleh ke belakang. Gaung masih memperhatikannya di ambang pintu sambil memiringkan kepala ke kanan. Napas Rauna terembus kasar.
***