Gaung tiba di pelataran rumahnya tepat pukul lima sore, memakan setengah jam waktunya untuk perjalanan dari sekolah. Motor Aras jelas sudah berdiri di depan teras, lengkap dengan sepasang safety low boot dekilnya di depan pintu.
Begitu menapaki teras rumah, napas Gaung tanpa sadar terembus kasar. Dia tak banyak berharap akan mendapatkan ketenangan sejak beberapa minggu belakangan. Setidaknya, wajah cemberut dan ocehan Firsah mengenai Aras akan menemani sesi makannya.
“Aku enggak minta banyak, lho. Enggak sampe sejuta, lima ratus ribu pun enggak. Orang lain berfoya-foya sampe berjuta-juta.” Suara ibunya menyambut di ruang makan. Masih pelan.
“Itu, ‘kan orang lain. Sadar diri, dong, kondisi kita bagaimana.”
“Aku hampir enggak pernah ke luar rumah, lho, Mas. Kamu cuma kasih uang belanja, belanja, belanja. Kamu pikir, aku enggak punya kebutuhan lain?”
Gaung memilih bersembunyi di balik tembok ruang makan saat suara Firsah mulai meninggi.
“Kamu pikir, tanggunganku cuma kamu?” Aras ikut menyahut dengan nada tinggi. “Uang listrik, uang air, siapa yang bayar?”
“Kamu egois, Mas. Kamu bisa beli bungkusan rokok sesukamu, pergi memancing sama temen-temenmu. Itu di luar di kebutuhan kita, Mas.”
“Cari kerja sendiri aja kalau kamu pengen foya-foya,” putus Aras akhirnya.
“Kamu sudah bertahun-tahun kerja di sana, masa gajimu enggak naik-naik?”
Tidak terdengar balasan.
“Oh, aku ngerti. Setengah gajimu dikasih ke perempuan itu?”
Suara sendok yang beradu dengan piring terdengar. Gaung bahkan sempat mendengar bunyi piring yang jatuh sebelum dia melangkah kembali ke luar. Helmnya masih bertengger di atas jok motor. Lelaki itu buru-buru mengenakannya dan melajukan motor meninggalkan rumah.
Tahu seperti ini, Gaung tidak usah pulang saja sekalian. Masih banyak tempat untuknya bermalam. Stasiun, misalnya. Namun, dia memutuskan untuk membawa motornya menuju salah satu basecamp tempat dia biasa berkumpul dengan teman-temannya.
Orang-orang menyebutnya Mojok. Beberapa tahun silam, tempat itu adalah warung yang terletak di antara jalan besar dan sawah. Di samping kiri warung, terdapat sebuah pohon mangga besar. Mungkin karena letaknya yang berada di bawah naungan pohon besar itu yang membuatnya cocok untuk dijadikan tempat mojok.
Ketika Gaung sampai, ada dua orang temannya yang sedang main catur di tengah saung. Satu tahun lalu, bangunan warung yang sudah lapuk karena lama tak terpakai itu memang dirobohkan, dan diganti dengan sebuah saung sederhana hasil karya Gaung serta teman-temannya.
“Ge.” Salah satu dari mereka menyapa sambil melambaikan tangan saat menyadari kehadiran Gaung.
Ge adalah sapaan pendek dari Ongge, nama kecil Gaung. Entah siapa yang memulai, awalnya Gaung disapa Ung, kemudian menjadi Ong, lalu tercetuslah nama Ongge.