Pagi harinya, penciuman Gaung sudah diisi oleh aroma nasi goreng favoritnya. Nasi goreng cabai merah tanpa telur dengan bumbu diulek. Ada tiga porsi yang terhidang di meja makan dan porsi terbanyak ada di bagian meja yang biasa dia duduki. Gaung menarik kursi dengan antusias.
“Minumnya.” Firsah muncul dari dapur sembari membawa teko.
Gaung menurut saja ketika Firsah mengisi gelasnya dengan air putih hangat dan menyuruhnya untuk minum terlebih dahulu.
“Hari ini, kalau mau main, izin dulu. Kalau enggak sama Ibu, ya, sama Ayah. Biar kami enggak khawatir.” Firsah menarik kursi di hadapan Gaung.
Gaung bergumam pendek dengan mata terpejam, sibuk mencecap kenikmatan sarapannya pagi ini. Pemandangan itu tak lepas dari tangkapan netra Firsah yang kontan melengkungkan bibirnya ke atas.
“Mau Ibu buatkan bekal?”
Mata Gaung terbuka. Ada jeda sesaat sebelum dia menjawab, “Enggak perlu.”
Firsah mengangguk sekilas dan ikut menikmati sarapannya. Aras muncul dari kamarnya tak lama kemudian. Sarapan pagi itu hampir tidak diisi perbincangan lagi sebelum Gaung kembali membuka mulutnya.
“Kemarin aku dipanggil ke TU. Uang SPP-ku udah menunggak lima bulan. Katanya, aku enggak akan bisa ikut PTS kalau uang SPP enggak segera dilunasi.”
Firsah melirik Aras. Yang dilirik akhirnya menjeda sarapannya untuk mengeluarkan dompet setelah beberapa saat takacuh. Pria itu mengambil beberapa lembar uang seratus ribuan dan memberikannya pada Gaung.
“Satu bulan dulu, sisanya menyusul.”
“Eumm, apa aku kerja aja, ya, Mas, biar uang SPP Gaung bisa terbantu,” usul Firsah.
“Enggak, malu-maluin aku aja. Dibilang nanti aku yang enggak becus cari uang.”
“Siapa yang bakal ngomong begitu? Istri kerja itu bukan masalah, kok. Pikiran kamu yang terlalu ke mana-mana, Mas.”
“Aku bilang enggak, ya, enggak. Kamu banyak membantah, ya, sekarang.”
Gaung yang berada di tengah perdebatan itu, buru-buru menyelesaikan sarapannya. Nasi goreng yang seharusnya memanjakan lidahnya itu, kini hanya sekadar makanan hangat yang menumpang lewat.
“Aku cuma mengusulkan. Toh, kalaupun banyak orang yang ngomong begitu, apa peduli kita? Yang penting kebutuhan kita tercukupi, ‘kan?”
“Aku sebagai suami yang menanggung malu.”
Sebelum Firsah sempat menjawab, Gaung sudah terlebih dahulu berpamitan kilat pada kedua orangnya. Dia dengan cepat berjalan ke luar—nyaris berlari—dengan mulut masih mengunyah.
***
“Terima kasih, Pak.” Rauna merapikan rambutnya sekilas setelah memberikan helm pada tukang ojek di depannya. Dia baru akan berjalan menuju gerbang sekolah ketika suara Andya terdengar dari belakang. Sepupunya itu ternyata memanggil dari dalam mobil yang berhenti di bahu jalan. Melihat sang pengemudi adalah omnya sendiri, Rauna berjalan menghampiri.
“Pagi, Om,” sapanya.