Sepulang dari rumah Nyonya Riharsso, begitu tahu papanya sedang bersantai di halaman belakang rumah, Rauna bergegas ke sana sedetik setelah acara mandinya selesai. Perutnya masih kenyang karena banyak memakan masakan Nyonya Riharsso tadi. Jadi, dia melewati ruang makan begitu saja dan hanya menolak tawaran makan dari ART-nya sambil lalu.
“Pa,” sapa Rauna sekilas seraya mendudukkan dirinya di kursi seberang.
Bromo menurunkan cangkir yang menghalangi pandangannya. “Kapan kamu pulang?”
“Baru aja. Langsung mandi, langsung ke sini.”
“Diantar Pak Oki?” Pak Oki adalah supir pribadi Nyonya Riharsso.
Rauna mengangguk sekilas. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana untuk menghalau hawa dingin. “Pa, masa temen SMP-ku ada yang mau menikah minggu depan.”
“Dia enggak lanjut sekolah memangnya?”
“Enggak tau. Dari gosip temen-temen, sih…,” Rauna mengangkat kedua bahunya sekali, “MBA.” Dia juga mengetahui ini dari Andya. Jelas saja, Andya masih tergabung dalam grup SMP mereka, dan menjalin komunikasi dengan beberapa teman lama hingga sekarang.
“Cuma gosip. Mungkin dia memang sudah siap berkomitmen.”
“Tapi, ternyata temen-temenku banyak yang udah nikah, lho, Pa. Banyak juga yang putus sekolah. Apalagi cowok.”
Bromo mengelap lensa kacamata yang baru dilepasnya. “Itulah pentingnya merencanakan hidup sedari sekarang. Dari rencana A sampai rencana cadangan. Kita enggak tau apa yang akan terjadi di depan sana.”
Rauna mengangguk-angguk. “Sayangnya, aku liat, masih banyak orang yang punya pemikiran ‘gimana nanti’. Padahal, mereka punya kesempatan, apalagi kalau secara materi.”
“Mereka terlalu terlena. Mau laki-laki atau perempuan, suatu saat mereka akan menanggung kehidupan orang tua mereka sendiri. Kalau enggak dipersiapkan sejak sekarang, belum tentu nanti enggak keburu terlambat.”
Kepala Rauna kembali terangguk, mencerna baik-baik perkataan papanya. Dia jadi semakin semangat merajut kisah hidupnya. Pembicaraan singkat tersebut kemudian terinterupsi dehaman keras. Adalah mamanya sendiri yang menjadi pelaku, dan dengan santai sedang menyenderkan sisi tubuhnya di bingkai pintu.
“Udah malem. Kalian masih mau lanjut diskusi? Enggak ngantuk?”
Rauna yang mengerti mama dan papanya butuh waktu berdua, langsung bangkit berdiri. “Aku tidur duluan. Malam, Pa, Ma.”
Mamanya sempat melemparkan senyum dan usapan sekilas di pipinya.
***
Malam ini, Gaung justru hanya membuat letter art namanya yang hampir memenuhi satu halaman penuh kertas kosong berukuran A4, kemudian mewarnainya. Terhitung sudah lima lembar kertas dia habiskan. Perutnya keroncongan, tetapi Gaung tidak peduli. Dia hanya berminat menggambar hingga deringan panjang ponselnya menengahi.
Andya. Sebelumnya, perempuan itu juga sudah menerornya lewat pesan. Namun, Gaung hanya membacanya lewat pop up. Deringan panjang itu terulang berkali-kali sampai Gaung mau mengangkatnya pada entah deringan keberapa.
“Gaung, kamu ke mana aja, sih?” Andya bertanya dengan nada tinggi. “Ketiduran? Main? Lupa waktu?”
“Ketiduran,” katanya berdusta.
“Kebiasaan! Kata Rauna, kamu tadi nunggu di gerbang kompleks?”