Kelopak mata Gaung terbuka saat mendengar kumandang azan subuh. Sembari mendengarkan, tubuhnya tetap berbaring terlentang dengan kedua telapak tangan saling menumpu di atas perut.
Sudah lewat beberapa hari sejak Firsah dan Aras mendaftarkan perceraian mereka ke Pengadilan Agama. Sejak itu pula, Aras memutuskan untuk menetap di kediaman nenek dan kakek Gaung. Tersisa dirinya dan Firsah di rumah mungil ini. Keseharian Gaung semakin membosankan saja.
Gaung baru bangkit ketika kumandang azan sudah tak terdengar lagi. Setelah menyalakan lampu kamar, dia bergegas mandi, kemudian berpakaian, lantas duduk menunggu Firsah menyiapkan sarapan di meja makan. Aroma nasi goreng favoritnya menguar di udara.
“Kamu hampir enggak pernah bawa bekal. Di sekolah enggak pernah lewatin makan siang, kan?” Firsah bertanya sambil menyodorkan segelas air putih hangat.
“Hem.”
“Kamu setiap hari pulang sore, kalau sambil main jadi malam. Jangan sampe lewatin makan, ya.”
Gaung kembali bergumam pendek.
Nasihat Firsah kembali berlanjut tentang Gaung yang harus lebih fokus sekolah, tidak lagi main-main karena kelulusannya sudah hampir di depan mata. Kemudian, berlanjut lagi tentang Gaung yang harus berhati-hati memilih teman. Salah pilih, bisa jadi Gaung yang ikut terjerumus.
“Kamu juga–”
“Aku berangkat.” Gaung menyela seraya mengambil tasnya yang teronggok di lantai. Setelah mencium punggung tangan Firsah sekilas, dia langsung melangkah lebar-lebar ke luar dan menyalakan mesin motor. Pesan untuk berhati-hati dari Firsah hanya menumpang lewat sebentar di pendengarannya.
***
“Nana.” Andya menyapa dengan cengiran lebar begitu sampai di samping meja Rauna. Belum sempat Rauna menjawab, Janira yang awalnya sedang duduk santai di sebelahnya, berpamitan untuk mengobrol dengan teman-temannya di pojok kelas. Rauna juga tidak tahu mengapa, Janira dan Andya selalu terlihat canggung untuk sekadar berbincang.