Tiba di rumahnya sepulang sekolah, Gaung mendapati seorang pria asing tengah duduk di atas motor. Pria asing itu sempat menjelangnya sebelum kembali fokus memainkan sebuah ponsel kecil keluaran lama. Ketika Gaung bertanya, pria asing tersebut menyebutkan nama neneknya sebagai orang yang memintanya untuk datang ke sini, sekaligus menungguinya. Untuk kesekian kalinya hari ini, Gaung kembali mendengkus kasar. Frustrasi juga lama-lama menghadapi orang-orang.
Tanpa mengucapkan apa pun, apalagi salam, Gaung melenggang santai memasuki rumah. Hal pertama yang dia lihat adalah dua wanita berbeda generasi tengah duduk berdampingan di kursi tunggal. Meja bundar kecil membatasi di tengah.
“Salam, Gaung.” Firsah menegur beriringan dengan perintah untuk mencium tangan neneknya melalui isyarat mata.
Gaung menurut dengan setengah hati. Salam darinya bahkan diucapkan dengan cepat sehingga hanya terdengar jelas di akhir. Kakinya sudah akan kembali melangkah ketika suara menyeramkan neneknya terdengar.
“Diam dulu di sini.”
Karena ruang tamu mungil ini hanya diisi dua kursi, Gaung berdiri di samping neneknya. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana, terang-terangan menunjukkan ketidakminatannya untuk terlibat dalam apa pun yang direncanakan sang nenek.
“Kamu enggak pernah ajari Gaung sopan santun, ya?”
“Gaung.” Teguran Firsah kembali mengudara.
“Nenek mau ngapain? Aku cape.” Gaung enggan menurut.
“Padahal, niat Nenek ke sini baik, lho.” Neneknya berkata dengan sewot. “Nenek mau ajak kamu pindah dari sini. Kehidupan kamu jelas akan jauh lebih terjamin kalau kamu tinggal sama ayah kamu. Ibumu sampai sekarang aja masih jadi pengangguran, bagaimana bisa biayai kebutuhan kamu?”
“Aku enggak mau,” putus Gaung cepat. Hidup pas-pasan lebih baik daripada tinggal di simulator neraka. Toh, lagipula, Aras masih rutin mengirimkan uang saku.
“Selama ini kamu diajari apa, sih? Enggak pernah mau nurut kalau orang tua ngomong!”
Gaung sedikit mengernyitkan kening, menahan dengungan di telinganya. Dengan bibir terkatup, pandangannya hanya fokus pada dinding di depannya. Otaknya tiba-tiba berpikir tentang apa kira-kira yang ingin dia gambar hari ini di kertas kosongnya. Amarah neneknya memang selalu ampuh menjadikan otak Gaung bekerja lebih produktif.
“Masalah hak asuh, aku dan Mas Aras memang sudah sepakat membebaskan Gaung untuk memilih, Ma.” Firsah angkat bicara.
“Terus kamu pikir, Mama mau membiarkan Gaung tinggal sama kamu? Mama ragu kamu bisa mengurus Gaung dengan baik. Pernikahan kamu sendiri aja kamu biarkan hancur begini. Gaung juga, kapan, sih, anak itu bisa sopan sedikit? Kamu terlalu memanjakan dia, terlalu lembek ….”
Kepala Gaung mulai pening. Dengan takacuh, lelaki itu memilih untuk pergi ke kamarnya. Jeritan neneknya sontak pecah. Dia bahkan bisa mendengar suara batuk yang disusul titah lembut Firsah agar neneknya sedikit tenang.
Doodle art. Gaung seketika mendapatkan inspirasi untuk menggambar doodle. Dia jadi memikirkan untuk bersikap sedikit sopan pada neneknya nanti karena wanita tua itu sudah memberi kontribusi dalam kehidupan kreatifnya.
***