Akresi

Kinalsa
Chapter #11

Bab 2.3

Andya sudah sangat bersemangat melangkah menuju kelas Gaung. Dalam genggaman jemari tangan kanannya, terdapat sebuah tote bag biru berisi kotak bekal sekaligus botol air. Wajahnya berseri-seri dan semakin terlihat cerah ketika tertimpa cahaya mentari.

“Tolong panggilin Gaung, ya.”

Seorang siswi yang diberi titah tersebut mengangguk, kemudian masuk ke dalam kelas yang tak lama memunculkan kehadiran Gaung. Andya langsung menarik lelaki itu menuju sisi koridor agar tak menghalangi lalu-lalang orang.

“Aku bawain bekel buat kamu. Aku yang masak sendiri, lho,” lapornya ceria sembari mengangkat tote bag yang dibawanya ke atas.

Gaung mengambilnya dengan senyum. Begitu kotak bekal yang juga berwarna biru tersebut dibuka, aroma nasi goreng favoritnya langsung tercium. “Kayaknya enak.”

“Memang masakan aku pernah enggak enak?” tantang Andya pongah. Bibirnya menarik senyum jahil.

“Enggak pernah.” Gaung mengakui. Selama hampir tiga tahun mereka bersama, perut dan lidahnya selalu berhasil dimanjakan. “Aku makan sekarang, ya.”

“Sebentar lagi masuk, Gaung. Istirahat aja. Aku masakin ini buat jam istirahat kamu, oke?” Andya menutup kembali kotak bekal tersebut dan memasukkannya ke dalam tote bag. “Sana masuk.”

“Lima menit masih lama.”

“Sebentar lagi.”

Mereka hampir berdebat saat Arlo taksengaja lewat. Dengan usil, dia menyapa Andya tanpa mengacuhkan kehadiran Gaung. Senyumnya lebar pula. Gaung mendengkus, kakinya sudah akan mengejar langkah Arlo sebelum ditahan Andya.

“Jangan cari masalah.”

Air muka Gaung tambah kusut. “Masuk kelas,” titahnya singkat, lantas berlalu begitu saja.

Andya mengerang kesal. Sia-sia sudah usahanya bangun lebih pagi demi membuat sogokan untuk meredakan amarah Gaung.

***

Hingga lepas sekolah, Gaung masih belum bertegur sapa dengan Andya. Dia bahkan hanya menitipkan pesan pada teman sekelas Andya untuk tidak menungguinya pulang. Lelaki itu bergegas pergi ke Mojok begitu bel pulang berbunyi. Dua batang rokok dan setengah gelas kopi sudah berhasil dihabiskannya sejak tiba di saung mungil ini.

“Paket.” Salah seorang rekan Gaung yang berasal dari sekolah lain turun dari motor sambil mengangkat sebuah kantong plastik hitam berukuran sedang. Ketika dibuka, terdapat tiga porsi mi ayam yang dibungkus dengan kertas minyak makanan.

“Tumben sia hideng,” komentar yang satu. (Tumben lo punya inisiatif)

“Gajihan aing.” (Gue baru dapet gaji)

“Gelo, nu geus gawé mah beda. Rokok, tuh.” Lelaki yang sedang bermain catur menimpali. (Yang udah kerja memang beda. Traktirin rokok, dong)

“Sia beneran eureun sakola?” tanya Gaung. Tubuhnya sedikit berputar menghadap bagian dalam saung, ikut menikmati rezeki yang datang tiba-tiba. (Lo beneran udah berhenti sekolah?)

Lelaki yang baru datang tadi bergerak duduk di ujung saung yang satu, berhadapan dengan Gaung. “Heeh. Lieur aing sakola waé ngabéakkeun duit. Mendingan gawé.” (Iya. sekolah terus pusing, ngabisin uang. Mending kerja)

Tiga porsi mi ayam tersebut langsung ludes dalam hitungan menit. Tidak menyisakan apa pun sekalipun mereka berempat makan menggunakan tangan. Tiga pasang sumpit yang masih dibungkus plastik malah dibuang begitu saja.

“Kopi, tuh,” celetuk yang satu. Sebatang rokok sudah terselip di antara jemarinya.

“Urang chat si Godel sena meuli kopi.” Godel adalah salah satu rekan mereka juga yang putus sekolah. Kini bekerja sebagai montir di sebuah bengkel kecil. (Gue chat si Godel, ya. Biar dia beli kopi)

Keheningan sesaat lalu digeser dengan obrolan tentang suka-duka mereka menjadi pekerja dan anak sekolah. Gaung menangkap, dua rekannya yang sedang bermain catur yang juga merupakan teman satu sekolahnya, sedang mencari lowongan pekerjaan. Namun, mereka masih bimbang antara bekerja sembari sekolah, atau fokus bekerja.

Lihat selengkapnya