Akresi

Kinalsa
Chapter #12

Bab 2.4

Bihun instan dan telur dadar. Lagi. Gaung mengeluh dalam hati. Sudah lewat beberapa hari sejak Firsah memutuskan untuk berhemat. Sekalipun Aras masih rutin mengirimkan uang belanja, Firsah bersikeras menyuruhnya berhemat agar bisa menabung. Uang saku Gaung ikut terpengaruh.

“Gaung, kayaknya, Ibu sudah harus mulai cari kerja.”

Gaung meminum air putih hangatnya tanpa merespons Firsah.

“Kalau ada, Ibu pengin jualan di kantin sekolah kamu. Siapa tau, kalau kamu yang bantu ngomong, dibolehkan.”

“Enggak ada,” jawab Gaung pendek.

Firsah mengembuskan napas berat. “Kalau Ibu kerja, kita jadi punya tabungan. Sekolah kamu juga masih panjang. Belum tentu ayah kamu rutin mengirimkan uang sampai nanti.”

“Buktinya, sampai sekarang Ayah masih rutin kirim uang.”

“Iya, belum tentu sampai nanti begitu.”

Gaung diam saja, malas mengawali paginya dengan berdebat. Dengan setengah bernafsu, dia melahap sarapannya tanpa mendengarkan falsafah Firsah. Pikirannya berkelana memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang. Minimal, uang sakunya kembali seperti awal.

“Kalau lulus nanti, kamu pengin kuliah?”

Pandangan Gaung terangkat sesaat dari piring. “Enggak.”

“Kenapa? Ibu setuju-setuju aja kalau kamu mau lanjut, biar Ibu bisa bantu kumpulkan uang dari sekarang.”

“Aku enggak lanjut aja kita masih harus hidup hemat, apalagi kalau lanjut.”

“Itu beda, Gaung. Sekarang, gelar penting untuk mencari pekerjaan.”

“Aku masih bisa dapet uang tanpa harus kejar gelar dulu.”

“Kamu udah cari-cari lowongan?” Firsah menghentikan makannya demi bisa menatap penuh putranya. Belum sempat Gaung menjawab, dia sudah terlebih dahulu melanjutkan kalimatnya. “Ibu enggak setuju kalau kamu bekerja sekarang. Fokus dulu sekolah, satu tahun lagi kamu ujian. Kalau sudah lulus, Ibu bebaskan kamu bekerja. Mau bekerja sambil kuliah pun bisa.”

“Iya.” Lelaki itu mengamini saja.

“Gaung, Ibu serius.”

“Aku pamit.” Dengan tangkas, Gaung menyambar tasnya di lantai dan bergegas pergi. Sarapan di piringnya sudah kosong karena dia mengunyahnya cepat-cepat.

***

“Om,” sapa Gaung kala turun dari motornya. Beres menggantung helmnya dengan aman di setang motor, dia langsung mengulurkan tangan sambil membungkukkan tubuh pada Digan.

“Gaung.” Digan menyapa balik sembari menepuk bahu lelaki itu. Punggungnya yang sedari tadi menyender pada sisi kiri mobil, sedikit menegak. “Pantas Andya nyuruh Om berangkat duluan.”

Gaung hanya tersenyum kecil, kikuk. Dia masih belum terbiasa dengan Digan, meskipun mereka sudah lumayan lama dikenalkan Andya.

Lihat selengkapnya