Seorang pemuda berjalan menuju halaman belakang rumah seraya membawa nampan berisi makanan. Kemudian ia menjatuhkan diri di samping pria paruh baya yang asik menikmati hamparan hijau serta warna-warni pada bunga mawar yang bermekaran. Setelah kegiatan hari ini, ia selalu menyempatkan diri untuk mengobrol ringan dengan sang ayah. Entah itu menceritakan letihnya atau sekedar menanyakan hal yang spontan terpikirkan di dalam kepala.
“Usiamu sudah 22 tahun, 3 bulan lagi udah 23 tahun, kapan punya pacar? Bapak gak pernah denger tuh kamu telponan atau main sama perempuan?” singgung Bapak membuat ia menghentikan niat untuk menyesap teh hangat. Entah sudah berapa kali pertanyaan itu diajukan oleh kedua orangtuanya akhir-akhir ini.
“Masih 22, Pak, belum di atas 30-an. Lagian Aksa belum kepikiran sampai ke sana. Bagi Aksa, pacaran cuman merusak fokus Aksa untuk belajar.” Balasnya santai.
Bapak terkekeh pelan, “Terus bapak dan mama harus nunggu kamu umur 40-an untuk punya cucu? Kamu masih muda, lakukan hal yang kamu suka.”
“Aksa suka kok apa yang Aksa lakukan sekarang, Pak. Pacaran aja belum kepikiran, apalagi menikah.” Aksa tersenyum, meyakinkan.
“Maksud bapak, cari perempuan yang sekiranya bisa kamu jadikan istri, bukan terburu-buru, tetapi bagus kalau kamu menikah dengan perempuan yang sudah lama kamu kenali. Kamu tahu sifatnya, kamu tahu bagaimana dia marah dan menghadapi masalah, kamu tahu segalanya tentang dia. Begitupun sebaliknya,” jelas Bapak, “fokus pada pendidikan itu bagus, apalagi kamu sering banget raih prestasi, bapak dan mama selalu bangga. Tapi kamu juga harus mulai mencari tambatan hatimu. Bertahap, gak perlu langsung pacaran, dekat dulu atau temenan dulu juga gak apa-apa. Jangan sampai kamu jadi bujangan tua.” Kelakar Bapak seraya terkekeh.
Aksa menunduk, bingung harus menjawab apa. Aksa memang tidak pernah pacaran sejak lahir. Pemuda itu hanya bercengkrama mesra dengan buku, taekwondo dan gitarnya. Banyak perempuan yang jatuh hati padanya dan terang-terangan mengajak Aksa berkencan. Namun Aksa selalu menolak dengan alasan ia sedang tidak ingin memulai hubungan lebih dari teman dengan siapapun. Akan tetapi, ia selalu penasaran bagaimana rasanya mencintai dan dicintai. Terlebih ia sering menyaksikan keharmonisan dan cara Bapak memperlakukan Mama. Secara otomatis menjadi mimpinya untuk memperlakukan pasangannya dengan istimewa juga.
“Kamu tahu gak betapa menyenangkannya punya seseorang yang selalu ada dan dukung kamu setiap waktu?”
Aksa menggeleng. Ia tentu tidak tahu.
“Kamu jadi selalu bersemangat setiap hari. Apalagi jika perempuan itu adalah orang yang akan kamu perjuangkan sampai jenjang pernikahan. Jelas kamu akan semakin bekerja keras untuk mencapai itu semua.” Kata Bapak.
Aksa mengerutkan keningnya, “Emang gitu, ya, Pak?” ia bertanya dengan tampang polos. Usia memang tidak bisa menutupi kepolosannya dalam urusan pasangan.
Bapak menepuk pundak Aksa, anak yang begitu Bapak sayangi. Setelah penantian 10 tahun menikah, akhirnya lahirlah Aksa. Seorang anak lelaki yang menjadi hadiah paling indah yang Allah berikan untuk keluarga Adinata. Hal yang paling mereka syukuri setelah mengadopsi seorang gadis kecil sebelum Aksa lahir ke dunia. Kehadiran Aksa menambah warna di keluarga kecil mereka. “Iya, bapak gak bohong. Bapak yakin, suatu saat nanti, kamu bisa menemukan seseorang yang membuatmu bersyukur memilikinya, begitu pun sebaliknya. Pesan dari bapak, kamu harus jadi lelaki sejati, Aksa. Jangan jadi lelaki pengecut yang berbuat seenaknya kepada perempuan. Ingat, ketika kamu menyakiti perempuan, sama saja kamu menyakiti ibumu sendiri.” Jelas Bapak dengan tegas, seakan memberi peringatan kepada anaknya itu.
Meski Aksa belum bisa menemukan perempuan yang bisa meluluhkan hatinya, Aksa menerapkan apa yang dikatakan Bapak. Apalagi kalimat terakhir sebelum topik berganti, bahwa menyakiti perempuan sama dengan menyakiti ibunya sendiri. Lantas Aksa berjanji, sebisa mungkin, ia tak ingin menyakiti perempuan manapun jika ia menemukannya.
Terkenal dengan kecerdasannya di kampus, Aksa yang memiliki nama lengkap Aksa Adinata itu adalah seorang mahasiswa yang aktif ber-organisasi. Sudah sepuluh bulan ini ia menjadi pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Taekwondo (UKM) di kampusnya sekaligus menjadi anggota taekwondo. Sebenarnya Aksa mengikuti taekwondo sejak SMP, sudah banyak medali dan piala ia raih dalam kejuaraan mewakili nama sekolah, hingga mewakili Kota. Tak hanya itu, berbagai kejuaraan non akademik pernah ia raih. Beberapa hal itu yang membuatnya dikenal oleh banyak orang, meski sebagian Aksa tidak mengenali mereka. Namun Aksa tetap rendah hati dan menganggap bahwa apa yang ia raih adalah keberkahan dari Allah.
Setelah satu semester Aksa mengikuti Program Kampus Mengajar, Aksa kembali lagi ke kampusnya. Satu semester yang penuh pengalaman luar biasa bagi Aksa: mendapat teman baru, ilmu baru, dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman yang tak akan pernah Aksa lupakan. Disambut hangat oleh teman-temannya, Aksa seperti seorang tentara yang baru berpulang dari medan perang. Mereka sampai merencanakan untuk makan bersama di salah satu indekos teman Aksa. Tentu saja dengan senang hati Aksa menyetujui.
“Mau ke mana, Sa?” tanya Ryan, salah satu teman kelas Aksa. Melihat Aksa yang beranjak dari duduknya sembari menenteng tas setelah 10 menit yang lalu mata kuliah jam pertama selesai.
“Sekretariat, mau tidur dulu. Lagian mata kuliah Sastra Indonesia dimulainya satu jam lagi.”
Melewati satu gedung menuju gedung khusus kesekretariatan organisasi mahasiswa, Aksa kini tengah menaiki tangga menuju lantai dua. Namun sebelum ke tempat yang hendak ia tuju, Aksa ingin menyegarkan diri untuk singgah di tempat biasa, yakni atap. Sudah lama ia tidak singgah di sana meski hanya sekedar berdiam diri. Lantas, kakinya menaiki kembali anak tangga menuju lantai empat. Biasanya di tempat itulah Aksa mencari inspirasi untuk membuat lagu atau sekedar merenungkan hal-hal yang memberatkan pikirannya.
Aksa mengerutkan keningnya pada pintu akses menuju atap yang terbuka. Biasanya ketika kemari, pintu selalu tertutup dengan gembok pin yang hanya ia dan penjaga kampus ini tahu. Namun sekarang kenapa terbuka? Apa ada penjaga kampus yang sedang berada di atap?
Aksa memutuskan untuk masuk dan mencaritahu siapa yang ada di sana. Dan ternyata, benar dugaannya, ia melihat seseorang yang tengah berdiri di samping pagar pembatas atap. Namun itu justru membuat kerutan di keningnya makin terlihat. Darimana gadis itu mengetahui kode pin di gembok? Apakah penjaga kampus memberitahunya?
Hendak Aksa mendekati, sekedar bertanya kenapa dia di sini seorang diri, niatnya terurung saat mendengar isakan yang begitu memilukan. Pundak gadis itu bergetar, kepalanya tertunduk dan sedetik kemudian pertahanannya runtuh. Ia berjongkok dengan tangis yang belum mereda. Aksa menebak gadis itu tengah dilanda masalah yang begitu berat. Jadi, Aksa memutuskan untuk kembali dan membiarkan pertanyaan-pertanyaan menggantung di udara tanpa adanya jawaban. Gadis yang tak Aksa kenali, hanya dapat ia lihat wajahnya dari samping, membutuhkan waktu sendiri sampai suasana hatinya memulih.
.......