Sebelumnya Aksa tak pernah sepenasaran ini terhadap seseorang. Ia cenderung bersikap tak peduli pada siapapun itu jika tidak ada hal penting. Sekarang, seorang gadis yang baru dikenalinya dua hari ini mengusik benaknya yang tenang. Aksa jadi tak fokus pada tugas kuliahnya. Sebab, Lengkara terus memutari isi kepalanya dengan ganas. Aksa menghela napas dalam, satu-satunya yang bisa menetralkan pikirannya adalah dengan bermain gitar. Ia lantas meraih gitar yang empat tahun lalu menjadi hadiah ulang tahun dari Bapak di usianya yang ke 18 tahun.
Beranjak dari kasurnya, Aksa menarik kursi dekat balkon kamar. Sengaja ia buka tirai supaya angin dapat leluasa masuk ke dalam ruangan. Membiarkan dirinya menikmati malam tanpa terbatas sekat. Suasana selepas hujan seperti ini adalah hal yang paling Aksa sukai. Aroma tanah yang tersentuh air hujan merupakan aroma paling menenangkan. Aksa merenung, masih membayangkan sosok Lengkara atas kejadian dua jam yang lalu dengan diiringi alunan melodi gitar yang ia mainkan. Aksa mengingat momen saat ia menemukan Lengkara menangis di atap seorang diri. Lantas ia kembali bertanya dalam hati, ada apa dengan gadis itu?
Aksa menarik kemungkinan bahwa Lengkara sedang tidak baik-baik saja. Tidak hanya itu, dalam buku catatan sang gadis pun menyiratkan banyak sekali duka yang ia tumpahkan dalam tulisan. Paragraf-paragraf penuh sirat menyakitkan membuat Aksa sendiri dapat berspekulasi seperti itu. Akan tetapi, Aksa tak ingin menuduh hal yang belum tentu benar. Bisa saja itu hanya imajinasi Lengkara yang ia tuangkan. Terlalu larut dalam pikirannya sendiri, secara otomatis lahirlah nada dari jemarinya saat memetik senar gitar. Alunan yang begitu menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Aksa sendiri tidak mengerti, mengapa harus nada sedih yang ia mainkan tatkala memikirkan Lengkara?
Nalar sedang tak berpihak pada dirinya saat ini. Seakan tengah berupaya menyelaraskan hatinya daripada logika yang sering kali Aksa gunakan. Aksa dibuat patuh oleh berbagai hal mengenai Lengkara. Namun beberapa menit kemudian logika menguasai kembali, menyisikan hati yang hampir berhasil menguasai dirinya. Ia lantas masuk kembali ke dalam kamar dan pergi tidur. Ia menepis semua tentang Lengkara saat sadar seharusnya Aksa tak menebak-nebak privasi gadis itu.
........
Melangkah menuju kelasnya, Aksa tak sengaja mendapati Lengkara tengah duduk seorang diri sambil membaca buku di koridor. Tadinya Aksa tak ingin bertegur sapa dengan gadis itu karena Aksa bukan tipikal orang yang mudah menyapa seseorang, apalagi genit. Aksa cenderung akan bersikap seolah tak melihat—atau melihat pun dia akan menganggukan kepala, tanda menyapa, tanpa melayangkan senyuman manisnya. Namun mengingat amanah dari Agam selaku ketua UKM Taekwondo yang meminta bantuan padanya tempo lalu, Aksa terpaksa harus melipir untuk sekedar melaksanakan tugasnya.
“Ngapain di sini? Bukannya ini wilayah angkatan 2018?” Aksa duduk di samping Lengkara, memberi jarak agar Lengkara tidak risih.
Lengkara yang terkejut mengerutkan alisnya karena Aksa tiba-tiba duduk dan bertanya. “Emang gak boleh?” tanyanya balik.
“Bukan. Gue cuman nanya.”
Lengkara kembali fokus pada novelnya, “Lagi nungguin temen, se-angkatan sama Kakak.”
“Siapa?”
“Kenapa emang?” tanya Lengkara. Dia merasa Aksa terlalu ingin tahu urusannya. Meski sebenarnya Aksa hanya basa-basi sebagai pembuka dari pertanyaan yang akan ia ajukan kepada Lengkara. Ia takut Lengkara merasa tersinggung jika langsung ditanyai alasan ingin keluar dari UKM Taekwondo.
“Gapapa. Lo anggota dan pengurus taekwondo tapi kenapa kita baru ketemu beberapa hari ini, ya?” tanya Aksa. Beruntung ia mengingat pertanyaan yang begitu ingin diajukan kepada Lengkara, sebagai bagian dari rasa penasarannya akhir-akhir ini.
“Pas gue rajin latihan, Kakak gak ada. Gue tahu kok, Kakak panitia open recruitmen Taekwondo waktu itu yang bertugas jadi PUBDOK.” Katanya. Lengkara mengingat saat itu Aksa memperkenalkan diri pada sesi pengenalan pengurus UKM. Aksa menyampaikan jabatannya sebagai Divisi Kominfo dan pada Oprec ia bertugas sebagai PUBDOK (Publikasi dan Dokumentasi).
“Gue kira lo baru masuk banget.”
“Udah lama.”
“Terus, soal...kenapa lo bisa ada di atap? Lo dapet kode kuncinya dari mana?”
Lengkara menatap Aksa dengan kening yang mengkerut, “Maksud, Kakak?”
“Waktu itu gue mau ke atap buat nyantai tapi gue kaget pas pintu atap kebuka, padahal yang bisa masuk ke sana cuman beberapa orang aja. Eh gue lihat lo, lagi nangis.” Tuturnya.
Sesaat Lengkara hanya bisa membisu. Ia tak menyadari bahwa Aksa hadir kala ia meluapkan emosinya. Ia bahkan lupa menutup kembali pintu atap sesuai amanah dari satpam ketika Lengkara meminta kode akses masuk ke sana.
“Hei?” Aksa melambaikan tangan tepat di wajah Lengkara. Menyadarkan Lengkara dalam lamunan hingga membuatnya tak bergerak.
“Oh itu, kebetulan salah satu satpam kenalan gue. Jadi gue gampang minta kode kunci atapnya.” Lengkara berharap dalam hati, Aksa tak menanyakan perihal kenapa dirinya menangis saat itu. Beruntung ia dapat menyampaikannya tanpa terputus, meski sebenarnya degup jantung berdetak lebih cepat dari biasanya.
Aksa ber OH ria, pertanyaan keduanya kini telah terjawab. Setidaknya Aksa tak perlu dibebankan dengan sosok Lengkara di dalam pikirannya. Kemudian Aksa melancarkan aksinya untuk membantu Agam. “Gue mau tanya lagi. Lo mau keluar dari UKM Taekwondo, alasannya kenapa?”
Lengkara menoleh kepada Aksa. Pemuda itu terlalu banyak bertanya. “Gue pengen berhenti aja.”
“Kenapa? Pasti ada alasannya dong.”
Lengkara terdiam kembali, seperti tengah menyembunyikan sesuatu yang membuat Aksa penasaran. “Gak tahu, pengen aja.” Tetapi justru kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
“Jangan gitulah—“