Sedang asik menikmati masa seragam putih abu, deretan pertanyaan menyebalkan kembali hadir seperti masa transisi dari SMP ke SMA 3 tahun lalu.
“Eh kamu kuliah dimana nanti? Mau masuk jurusan apa? Kira-kira bisa enggak yah masuk perguruan tinggi negeri?” entahlah, aku sendiri bingung harus jadi apa di masa depan.
Mengejar keinginan untuk menjadi atlet sepak bola dan memulainya dari awal masuk SMA rasanya keterlambatan yang sangat sakit. Kemampuan permainanku masih jauh dari mereka yang sudah rutin latihan sejak masa SD. Belum lagi tentang kedisiplinan latihan, aku sangat jauh dari label itu. Jadwal latihan 3 kali dalam sepekan jarang aku penuhi. Terkadang, aku malah memprioritaskan serial Naruto di jam 5 sore daripada menghabiskan waktu di lapangan.
Ketika proses latihan sepak bola yang tidak konsisten, aku merasa kebutuhan uang saku yang lebih. Bisa saja aku meminta uang lebih sama ibu dan ayah, tapi entah kenapa sudah ada rasa malu untuk melakukan itu.
Setelah mencari berbagai sumber produksi cemilan, akhirnya aku memulai bisnis kecil-kecilan dengan menjadi reseller dari produk keripik pisang dengan beragam varian rasa yang berasal dari kota Bandung, brandnya bernama Ongki Banana Chips. Produk ini aku temukan di pencarian Instagram dan sedang hits di kalangan anak muda. Dengan bermodalkan tabungan, aku membeli paket bronze yang berisi 15 pcs.
“Adam, rasa vanila masih ada? Aku mau ya.”
“Dam, bisa anter rasa taro ke rumah? Mau 2 dong.” Teman-temanku di kelas menyukainya. Bahkan aku sampai mengirim ke sekolah lain.
Dengan menjualnya seharga 15 ribu per pcs, produk itu laris manis saat awal kehadirannya. Meskipun harganya agak kurang ramah dengan kantong anak SMA, keripik pisang dengan varian rasa itu membuat siapapun berani membayarnya. Hasilnya lumayan buat aku menambah uang saku untuk sekedar healing ke rental PS 3.
Jiwa bisnisku semakin membara ketika melihat ibu memiliki kartu member dari salah satu brand fashion ternama, yaitu Sophie Paris. Setiap beberapa minggu sekali, katalog produk baru menjadi pengisi dari meja ruang tamu.
“Bu, Adam coba tawarin ke teman-teman ya?” tanyaku dengan antusias. Keuntungannya lebih besar dari keripik pisang.
Ibu mengizinkannya, “Boleh, sok bawa aja.”
Aku membuka katalognya untuk tahu rentan harga dan apa saja jenis produk yang tersedia, namun ternyata harganya banyak diluar nalar!
“Waduh, ini sih enggak bakal cocok buat anak SMA. Ini cocoknya buat orang-orang high class, seperti para istri pejabat.” Aku benar-benar kaget melihat banyak produk yang bernilai ratusan ribu. Jauh dari kata ramah untuk dompet anak SMA. tapi yang namanya hidup harus banyak mencoba, hingga akhirnya aku nekat menawarkannya ke teman-teman kelasku.
Ternyata dugaanku salah, produknya laku banget!
“Dam aku mau dompet ini yah.”
“Mau juga dong dam, jam tangan ini lumayan kayaknya.”
Meskipun mereka tertarik, tidak semua mampu membayar secara tunai. Aku memberi keringanan dengan membolehkan mereka membayar secara kredit, 2 sampai 3 kali bayar. Meskipun di beberapa waktu aku merasa sudah kaya raya, aku relakan mereka yang tidak mampu membayar sisanya.
Semua aktivitas bisnis kecilku itu berlangsung sampai akhir 2016, sebelum semua temanku fokus mempersiapkan seleksi perguruan tinggi negeri impian mereka masing-masing. Perlahan, impianku menjadi atlet sepak bola telah bergeser menjadi seorang Entrepreneur.
***
Sekitar pertengahan tahun 2016, aku mendapat informasi tentang kompetisi Business plan di Universitas Padjajaran (UNPAD) yang diselenggarakan oleh program studi Administrasi Bisnis dari beranda Instagramku.
“Hmm, menarik nih, ikutan ah!” Aku yang sedang menikmati uang hasil jualanku memberanikan diri berkompetisi di tingkat Regional 2 yang terdiri dari kawasan Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Karena kompetisinya mengharuskan memiliki tim, aku mengajak 2 orang teman kelas yang potensial untuk bekerjasama, yaitu Abdul dan Devi.
“Dul, tertarik gak? Lumayan nih bisa buat nambah pengalaman kalau lolos.” Aku memperlihatkan poster kompetisinya yang berada di postingan Instagram official penyelenggara.Abdul membaca perlahan dan berfikir sejenak.
dan nampaknya, dia tertarik, “Hm, boleh deh. Mau buat produk apa kita?”
Sejujurnya akupun bingung, sebelum akhirnya punya ide cemerlang, “Kita buat keripik nanas, tapi ada tambahan topingnya. Biar ada modifikasinya sedikit.” Ide tersebut terinsipirasi dari keripik pisang yang sedang aku jual. Entah nyambung atau tidak rasanya, yang penting idenya aku masukan dulu ke dalam proposal.
Meskipun perkebunan dan produk olahannya ada di bagian selatan Kabupaten Subang, tetapi buah nanas tetap menjadi ikon Kabupaten dari kawasan pantai Pantura sampai kawasan yang mendekati gunung Tangkuban Parahu.
“Dev, join yu.” aku memperlihatkan poster kompetisinya di layar ponsel kepada Devi di sela jam istirahat kelas.
Tanpa berfikir panjang, dirinya berkenan untuk bergabung, “Boleh nih, ayo deh.”
Sebelum memulai menyusun proposal, kami menghubungi guru kewirausahaan sekolah yang di rasa bisa kami dijadikan pembimbing kompetisi ini, yaitu pak Hasan. Aku menjelaskan secara detail kompetisi ini sesuai yang tertera di poster. Tanpa banyak drama, pak Hasan siap membimbing kami bertiga.
“Oke dam, bapak usahakan untuk bantu kalian.” ujarnya yang tertarik membantu kami.
Kami bertiga menyusun proposal bisnis tersebut dengan niat sebagai bahan pembelajaran. Tentu sebuah target yang sangat realistis, mengingat skala kompetisi ini sangat besar. Apalagi pembelajaran di sekolah belum terlalu mengarah pada hal-hal berbasis entrepreneurship secara spesifik, membuat penyusunan proposal seperti ini menjadi aktivitas yang langka dilakukan oleh anak SMA.
Setelah menyatukan gagasan dan pikiran, proses pembuatan proposal dan eksperimen produksi dilakukan. Tahapan itu pada akhirnya mampu selesai sampai pertengahan bulan Oktober, dimana kami bertiga harus menyesuaikan waktu luang kami masing-masing. Nama Respect kami pilih sebagai nama tim, sesuai dengan nama kelas kami.
“Alhamdulillah, selesai juga. Harus cepat submit nih.”
Aku merasa lega, semua yang sudah tercantum dalam proposal sudah sesuai dengan panduan yang diberikan pihak penyelenggara.
“Dul, produknya simpan di rumahmu ya.”perintahku sambil menaruh produk di lantai halamannya. Dengan suasana yang asri, rumah Abdul menjadi tempat dimana kami merangkai proposal dan melakukan eksperimen inovasi produk keripik nanas.
“Oke siap dam. Bismillah, semoga lolos ya guys!” ucap Abdul yang lumayan optimis. Pasti akupun mengingankan kata ‘lolos’ saat pengumuman nanti.
***
Tiba pada awal bulan November, aku tidak mendapatkan informasi apapun mengenai keberlanjutan lomba business plan itu.
“Di posternya pengumuman tanggal 3, ini sudah tanggal 4 belum ada postingan tentang tim yang lolos. Atau mungkin memang kita sudah gugur? Ah, ya sudah deh.” ujarku yang sudah sangat pasrah dan tidak punya ambisi apapun.
Namun takdir berkata lain…
Tanggal 7 November 2016, tepat dimana hari aku menginjakan kaki di usia ke 17. Tidak ada ekspektasi apapun tentang hari kelahiranku. Pagi hingga sore berjalan normal seperti biasa, hanya beberapa ucapan selamat ulang tahun dari orang-orang terdekat di sekolah yang menjadi pembeda.
Namun tepat pada pukul 8.30 malam, sebuah postingan baru dari akun official penyelenggara hadir di halaman beranda Instagramku. Dan ternyata kami lolos! Nama Respect tercantum sebagai salah satu kelompok terpilih beserta 9 tim lainnya.
Tapi kesenangan karena lolos itu hanya sesaat, sisanya penuh dengan rasa panik! Aku menghubungi Abdul dan Devi untuk memberitahu bahwa kita lolos kompetisi. Dan sama sepertiku, mereka juga malah panik.
“Coy kita lolos euy! Harus prepare nih.” pesanku melalui Line.
Abdul yang kaget membalas, “Astagfirullah, dadakan pisan. Kirain teh gak bakal kepilih.”