Aksara 4 Cangkir

Adam Nazar Yasin
Chapter #2

Kekuatan Cireng

Setelah mendeklarasikan diri bahwa kuliah nanti harus menjadi perantau, hari-hariku menjadi membosankan. Insta storyku banyak terisi oleh mereka yang sudah menginjakkan kaki di tanah rantaunya. Kedua temanku saat lomba Business Plan di UNPAD dahulu, Abdul dan Devi, kabarnya juga langsung berhasil melanjutkan kuliah. Abdul mengambil sekolah vokasi program D3 di Institut Pertanian Bogor (IPB), sedangkan Devi kabarnya melanjutkan di Universitas Subang.

Mengarungi keseharian yang monoton, aku kembali jualan Ongki Banana Chips dan produk cemilan lainnya. Namun aku hanya mengandalkan jualan online dengan Instagram, pembelinya tidak seramai saat di SMA. Ayah juga akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja dari supir taksi di Jakarta. Suasana ibu kota sudah terlalu rumit, sehingga memilih membuka usaha cemilan di rumah.

Di suatu hari pada waktu subuh, aku dan ayah berjalan pulang setelah menunaikan solat subuh. Beliau melihat sebuah petunjuk tempat di tiang jalan yang sedang kami lewati dan menunjukan arah Universitas Subang berada.

“Dam, itu ada Universitas Subang, kenapa enggak lanjut disitu aja?” ucap ayah sambil melihat ke arah tulisan itu.

Jujur aku bingung menanggapinya. Alasan yang aku miliki terlalu kompleks untuk dipaparkan.

“Tidak mau, kurang berminat,” jawabku yang sebenarnya hanya formalitas.

Aku tidak peduli kualitas kampus, jurusan, dan daerah seperti apa yang akan aku jadikan tempat petualangan hidup nanti. Dalam benakku hanya keharusan merantau, menjalani proses untuk mencari tujuan hidup di dunia yang sementara ini. Sesekali aku menjerit dalam sujud bangun malamku, “Ya Allah, enggak mau tau pokoknya tahun depan sudah harus merantau! Aku menyesal banyak menghabiskan waktu secara sia-sia dan terbuai dengan kenyamanan dengan terlalu banyak bermain game. Aku ingin arena proses yang lebih menantang lagi ya Allah, Aamiin.

Perlahan diriku mengubah kebiasaan buruk yang selama ini sudah menjadi karakter. Aku jadi pribadi yang trauma dalam mencontek, menghindari menonton tayangan kurang bermanfaat, sampai memperbanyak futsal dan mengikuti organisasi kecil di pusat kota Subang agar tidak banyak di rumah. Memahami perintah merantau aku wujudkan sementara dengan cara sederhana, perbanyak membangun relasi meskipun masih di kampung sendiri.

Namun perlahan aku menyadari satu hal, aku belum memiliki sebuah laptop. Sebuah barang yang sangat penting untuk menunjang perkuliahan. Kalau aku langsung kuliah tanpa laptop, maka bisa jadi proses studi akan kacau. Beberapa orang pernah berkata kalau laptop itu 'setengah nyawanya' perkuliahan. Mungkin memang ini sudah jalan terbaik yang ditetapkan, aku harus berhenti dulu dari jalur akademik untuk mengumpulkan dana sambil terus mempatenkan arah tujuan hidup yang pasti.~

***

Sekitar bulan Oktober, aku merasa stagnan dalam jualan. Aktivitas jualanku tidak pernah mendapatkan pemasukan yang lebih tinggi sejak meninggalkan bangku SMA. Padahal aku berharap bisa mengumpulkan uang yang banyak dari hasil jualan Ongki Banana Chips dan aneka cemilan agar bisa membeli laptop, buku belajar SBMPTN, dan mempersiapkan dana darurat secara mandiri agar siap menghadapi “pertempuran” sengit tahun depan. Namun di tengah rasa bosan dan putus asa dengan progress jualan, aku mendapat tawaran kerjasama mengelola usaha dari kenalan ibu.

“Dam, ini ada nasabah di koperasi yang lagi cari orang untuk ngelola cireng, mau gak? Lumayan buat ngisi waktu sambil nunggu tes tahun depan.” tawar ibu.

Tanpa berpikir panjang, aku mengiyakan tawaran itu, “Boleh bu, Adam coba deh.”

Sebagai pengelola koperasi Syariah, ibu punya banyak kenalan. Apalagi dari kalangan guru SD. “Nanti ketemu ya, namanya A Uzi. Guru Tahfidz di SDIT Alamy.”

“Yang deket SMAN 1 Subang?” tanyaku untuk memastikan lokasi.

“Iya.”

Beberapa hari setelah menyetujui tawaran yang ibu berikan, a Uzi main ke rumah.

“Assalalmualaikum ....” suaranya dari luar terdengar asing, ini pertama kalinya aku mendengar suara itu.

“Waalaikumsalam ....” ibu membuka pintunya, sementara aku masih di kamar menunggu sampai di panggil. “Masuk A ....”

beliau melangkahkan kaki sambil basa-basi sejenak.

Sebelum membicarakan pengelolaan usaha yang ditawarkan padaku, sebenarnya A Uzi punya kepentingan lain yang berkaitan dengan dirinya sebagai nasabah koperasi. Setelah beberapa saat, aku memutuskan untuk mengeluarkan diri dari kamar karena ingin melihat sosoknya.

Melihatku keluar, ibu memanggil, “Sini dam salim dulu sama A Uzi. ”

A Uzi langsung merespon, “Oh, ini Adam teh.”

“Iya A, hehe .…” jawabku secara singkat.

Perlahan aku menelaah perawakannya yang terlihat memiliki tinggi yang sama denganku, meski jika disandingkan sepertinya aku lebih tinggi. Matanya lebih bulat, berbanding terbalik denganku yang sipit. Dari suaranya, aku menilai kalau sosoknya sangat rileks dan mudah bergaul.

“Nah jadi gini dam,” ucap A Uzi yang beralih membicarakan usaha cirengnya.

“Aa tuh kan punya usaha cireng isi, cuman ini teh agak kewalahan sama ngajar. Jadi Aa butuh orang buat ngelolanya. Kira-kira, Adam berminat enggak?”

Aku menyanggupinya dengan bertanya lebih detail, “Boleh A, Adam coba dulu jalan kali yah. Tapi sistem kerjanya ini gimana?”

A Uzi menjelaskan, “Jadi targetnya sehari minimal bisa goreng 100 cireng. Karena cirengnya butuh waktu lama gorengnya, jadi harus dari pagi. SD istirahat jam 10, kalau bisa dari jam 7 udah start.” ucapnya yang berhenti sejenak, sebelum melanjutkan penjelasan, “Harga cirengnya 2000, ke Adamnya dapat 400 rupiah. Dan itu bersih, Adam engga usah mikirin minyak sama gas.”

Beliau menambahkan, “Tapi nanti kalau Adam bisa dapat orderan dari luar, ke Adamnya 500 rupiah. Soalnya Aa dengan harga segitu harus bayar pajak ke kantinnya 200 rupiah.”

Untuk seorang anak yang tidak tau jati dirinya seperti apa, tawaran tersebut sangat lumayan untuk mengisi waktu luang. Dengan menerima dan mengerjakan kesempatan yang kecil ini, aku berharap hal-hal besar bisa hadir di kemudian hari.

“Oke siap A, jadi mulai kapan jualannya?” ucapku dengan animo yang tinggi.

“Senin depan boleh, A Uzi siapkan dulu segalanya.”

“Oke A, kabarin aja.”

Tidak lama kemudian, beliau pamit pulang.

“Ya sudah bu, abdi pulang dulu ya. Nanti minta nomer Adam aja ya bu, wassalamualaikum ....” sambil melangkahkan kaki keluar.

Lihat selengkapnya