Aksara 4 Cangkir

Adam Nazar Yasin
Chapter #3

Yang Penting Merantau!

Setelah kegagalan SBMPTN untuk kedua kalinya, kondisi hidup semakin membingungkan. Aku terlalu obsesi dengan nasihat merantau yang bisa menjadi seseorang berilmu dan beradab. Tapi mau bagaimana lagi, kalau tidak keluar dari lingkungan ini, maka khazanah keilmuan yang aku miliki tidak akan luas. Daya jelajahku dalam mengarungi berbagai medan perjalanan tidak akan seperti teman-temanku yang lebih dulu berkuliah di luar kota. Aku tidak mau saat acara reuni nanti tidak ada yang bisa aku banggakan. Dan ketika ada halal bi halal saat lebaran tiba, setidaknya aku ingin menjawab keberadaanku di luar kota untuk memperkecil peluang direndahkan orang lain.

Dari lubuk hati yang paling dalam, UNPAD masih menjadi impian. Meskipun tahun ini merupakan kedua kalinya aku tertolak. Aku mencari berbagai informasi mengenai jalur mandiri yang segera di buka. Namun melihat daftar harga masuk jalur mandiri membuat diriku secara resmi mengubur keinginan untuk menempuh pendidikan ke salah satu kampus terbaik Indonesia yang berada di Jatinangor itu.

Masih tidak mau menyerah, aku mencoba keberuntungan untuk tes di Politeknik Negeri Bandung (POLBAN). Meski jenjang pendidikan yang tersedia berupa Diploma 3 dan Diploma 4 atau Sarjana terapan, disana ada program Studi Administrasi Bisnis. “Nah, ini cocok buatku.” Ucapku yang memberanikan diri untuk daftar dan melalui seleksinya. Namun aku baru sadar setelah mendaftar, persaingan disini akan sangat jauh lebih ketat! Dan benar saja, aku kembali terhempas seperti sampah organik yang melayang di udara. Diriku kembali dinyatakan tidak lulus seleksi setelah beberapa minggu melakukan rangkaian tes.

“Oke baiklah, aku menyerah masuk golongan mahasiswa perguruan tinggi negeri.” ucapku yang berbisik dalam hamparan sajadah setelah melihat hasilnya.

“Waktunya cari yang swasta deh.” gumamku sambil mencari berbagai universitas swasta di google. Dari semua yang aku temui, hanya Universitas Telkom Bandung yang menurutku paling berkualitas. Tapi melihat biaya masuknya, aku khawatir nantinya malah banyak barang berharga yang akan di jual demi membuatku bisa kuliah.

“Ya ampun, Telkom ini mahal banget per semesternya.” aku membuka websitenya dan melihat berbagai program studi yang tersedia. Meskipun belum tau jurusan apa yang cocok untuk manusia yang belum mengetahui jati dirinya ini, namun melihat biayanya saja sudah membuatku khawatir. “Waduh, bisa sampai jual tanah nenek ini,” pikirku yang melihat deretan daftar harga kuliah di kampus yang berada di kawasan Kabupaten Bandung itu.

Dalam proses mencari tempat terbaik untuk merantau, akhirnya sebuah pilihan yang tidak terpikirkan sebelumnya telah menjadi solusi terbaik. Ibu menemukan nama Universitas Muhammadiyah Bandung di tengah kebuntuan aku mencari kampus yang cocok.

“Dam, ini ada kampus yang lumayan nih, UMBandung. Mau coba enggak?” beliau memberikan ponselnya dan memperlihatkan seputar kampusnya.

“Muhammadiyah? Hmmm …. ” melihat nama itu, sebuah keraguan besar muncul dalam benakku. Dari kecil sampai lulus SMA, aku mempunyai sudut pandang yang sempit mengenai pemahaman keorganisasian islam. Meski ada di pembahasan pada buku sejarah dari jenjang SD sampai SMA, aku sama sekali tidak mengetahui banyak hal yang spesifik tentang Muhammadiyah. Bahkan sejak pemberitaan jika Muhammadiyah suka berbeda arah dengan pemerintah tentang waktu mulai puasa dan lebaran, aku mengira mereka adalah organisasi sesat. Padahal organisasinya diawali nama nabi terakhir, tapi aku yang sangat bodoh ini sangat mudah terbawa arus pemberitaan.

Namun setelah melihatnya secara utuh, keraguanku berubah menjadi ketertarikan. Bukan karena nama Muhammadiyahnya, melainkan tagline kampus yang bertulis 'Islamic Technopreuneur University', Sebuah tagline yang belum pernah aku lihat dimanapun.

“Jadi maksudnya pengusaha yang mengandalkan teknologi tapi berbasis islam? Hmm, menarik juga sih.” dengan tekad merantau yang tidak bisa di ganggu gugat oleh ayah dan ibu, aku memutuskan untuk daftar kesini. Meski di tengah kondisi pemberitaan tentang radikalisme dan ajaran sesat di kampus islami, aku siap ‘berperang’ dengan kondisi itu.

“Ah nanti kalau ada aliran apapun bodo amat deh, prinsipku tidak akan goyah, bismillah.” gumamku dengan percaya diri. Dengan masa sekolah di lingkungan islami yang sangat kontemporer pada masa SMP dari tahun 2011 sampai 2014 lalu, rasanya cukup untuk aku memiliki pondasi ajaran islam yang pokok. Bahkan ketika masuk pada lingkungan SMA yang multikultural, solat adalah sesuatu yang jika aku tidak melaksanakannya maka hati tidak akan bisa tenang.

Melihat beberapa daftar program studi dan biaya per semesternya, ini jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan Universitas Telkom Bandung. Demi mempertahankan idealisme merantau, aku mendaftarkan diri melalui halaman websitenya. “Kalau biayanya segini kayaknya ibu dan ayah tidak akan terlalu berat, insyaallah akan ada rezeki dari arah yang tidak terduga kehadirannya.” gumamku yang siap menjalani tes apapun di kampus yang akan membuatku menemukan jati diri seutuhnya.~

***

Pada awal bulan Agustus, aku diantar ibu untuk melakukan tes di Universitas Muhammadiyah Bandung yang berada di jalan Palasari no 9A, kelurahan Lingkar Selatan, Kec. Lengkong. Kami menaiki mobil elp yang banyak mengantri di dekat Wisma Karya, salah satu bangunan yang menjadi titik sentral kawasan pusat dari Kabupaten Subang. Meski menaiki mobil elp disini terkadang harus menunggu sampai penumpang memenuhi target dalam sekali jalan, rute perjalanan yang melewati kawasan perkebunan teh hingga gunung Tangkuban Parahu tersebut membuatku bahagia dan selalu bersyukur. Selain karena faktor historis yang banyak menyimpan kenangan perjuangan nasional, Kabupaten Subang menyimpan banyak potensi alam dan wisata, hingga aku berasumsi bahwa tempat lahirku ini adalah “miniatur Indonesia”. Hasil bumi lautan hingga jenis produk pegunungan sangat berlimpah seperti mewakili kondisi hasil alam dari Sabang sampai Merauke.

Kurang lebih menempuh perjalanan selama 2 jam, kami berdua tiba di stasiun Ledeng yang berseberangan dengan kampus utama Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Meski beberapa kali pergi ke Bandung bersama teman SMA saat SBMPTN dulu, aku belum hafal rute perjalanannya. Untungnya, ibu yang merupakan mantan jurnalis di sebuah majalah kota Bandung pada tahun 90an masih lekat ingatannya. Sangat mudah baginya memberhentikan angkot untuk sampai ke lokasi dimana kampus itu berada.

“Bu, masih hafal jalannya? Emang dari tahun 90an Bandung enggak ada yang berubah banyak?” tanyaku yang sedang menunggu angkot ke arah terminal Kebon Kalapa.

Dengan ringan ibu menjawab, “Insya allah masih ingat. Tapi kayaknya memang enggak banyak berubah.”

Meski sebenarnya bisa saja kami memilih menaiki taksi online, tapi ibu menyarankan pakai angkot supaya aku sambil menghafal rute perjalanan. Setelah turun di terminal Kebon Kalapa, kami melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkot yang melewati kawasan Lengkong. Mengikut panduan google maps agar kami berjalan beberapa meter dari titik kami berhenti, akhirnya aku dan ibu tiba di depan gedung Univeritas Muhammadiyah Bandung.

“Akhirnya sampai juga.” gumamku dalam hati.

Melihat tampilan gedung kampus yang masih sederhana, aku merasakan nuansa kehidupan yang jarang terasa di Subang. Suasana kesejukan dari pohon-pohon yang rindang itu persis yang di bicarakan banyak orang. Sensasi lingkungan yang telah aku lewati seperti mewakili tulisan di tembok lorong jalan Asia-Afrika yang terucap dari Martinus Antonius Weselinus Brouwer. Budayawan yang sangat dikenal karena kolom-kolomnya yang tajam, sarkastik dan humoris pada tahun 1970-180an itu menyatakan bahwa :

Bumi Pasundan Lahir saat Tuhan tersenyum.

“Ayo masuk, kita lihat ke dalam.” perintah ibu yang melihatku sedang menikmati birunya langit-langit di jalan Palasari yang banyak pepohonan.

“Oh iya.” kami melangkahkan kaki hingga sampai pada bagian administrasi, tepat setelah melewati pintu masuk utama. Ibu menghampiri 2 penjaga yang sedang duduk di kursi depan, salah satunya bernama kang Dinar.

“Selamat pagi Ibu, ada yang bisa kami bantu?” sapa kang Dinar dengan ramah dan lembut.

Lihat selengkapnya