Aksara 4 Cangkir

Adam Nazar Yasin
Chapter #4

Sambutan Hangat dari Sang Nenek

Setelah pasti untuk melanjutkan hidup dan pendidikan dengan merantau, aku pamit dari berjualan cireng A Uzi. Sejalan dengan keputusanku yang akan pergi ke kota Bandung, nampak A Uzi akan sejenak menghentikan jualan cirengnya. Selain karena belum penurunan jumlah penjualan, libur menuju tahun ajaran baru juga menjadi faktor utamanya. Namun yang jelas, ada sedikit rasa sedih ketika aku harus pamit.

“A Uzi, bentar lagi Adam jadi lanjut kuliah, akhir bulan ini kayaknya Adam udah enggak bisa lanjut lagi. Udah mulai harus mempersiapkan semuanya.” gumamku beberapa hari menjelang libur sekolah.

“Oh iya siap dam gapapa, kuliah dulu aja. Keterima di Bandung ya? Semangat terus dan semoga lancar yah ....”

“Amiin, makasih A udah ngasih kesempatan.”

“Iya sama-sama.” A uzi mengeluarkan upah cirengku untuk terakhir kalinya. “ini Aa ada tambahan sedikit ya, semoga bisa membantu.”

“Eh A? ya ampun. Makasih banyak ya A.” aku terkejut dengan tambahan uang itu. Tapi memang sangat aku butuhkan untuk tabungan ke bandung.

Sejujurnya, aku sangat nyaman melakukan aktivitas seperti ini. pagi sampai menjelang siang, mencari uang, siang ke malam mencari ilmu dengan belajar. Sudah seperti orang kuliahan, namun tidak terikat dengan institusi manapun. Namun mumpung masih muda, aku harus mengambil pengalaman di negeri lain. Apalagi sekarang sudah ada kampus yang mau menerimaku.

Setelah pamit dengan A Uzi, aku berkunjung ke rumah nenek dari ayah yang berada di desa Koranji Kec. Purwadadi, Kabupaten Subang. Jaraknya berkisar Kurang lebih 20 km dari rumah yang sedang aku tinggali beserta ibu, ayah, dan nenek dari ibu. Dengan usianya yang semakin menua, hampir beberapa tahun belakangan nenek dari ayah sudah sering sakit. Aku berharap dengan memberi kabar bahwa aku akan berangkat kuliah tahun ini, semoga memberikan rasa bahagia yang berujung pada kondisi kesehatannya yang membaik. Setelah aku sampai di rumah nenek, beliau terlihat sudah banyak mengalami kesulitan bergerak.

“Ma, bulan depan Adam mau berangkat kuliah dulu ya.” ucapku yang mengajak beliau bicara.

Nenek bertanya, “Alhamdulillah, kuliah dimana cu?”

“Keterima di Bandung ma.”

“Iya ema doain, semoga sukses yah cu. Sup, atuh kamu harus rajin cari uangnya.” perintah nenek pada ayah. Maklum nenek bicara seperti itu karena sudah tau ayah tidak lagi di Jakarta.

“Tenang aja ma, aman.” jawab ayah yang begitu percaya dirinya. Meskipun aku tau dalam hatinya pasti menyimpan sedikit kekhawatiran terhadap biaya kuliahku selanjutnya.

Beberapa minggu sekali aku memang sering berkunjung ke rumah nenek, kadang sendiri, dengan ayah, atau bersama paman. Namun dengan keputusanku untuk merantau nanti, nampaknya aku tidak akan bisa menjalani rutinitas itu lagi.

Menjelang sore hari, aku dan ayah pamit pulang, “Ya udah ma, ini Usup mau urusin yang lain dulu, sama si Adam juga mau nyiapin keperluannya nanti.” Ucap ayah. Aku salim dan mengepal tangannya yang sudah rapuh dan terlihat sangat keriput.

“Ma, Adam pulang dulu ya, Assalamualaikum ....”

“Waalaikumsalam, iya sok semoga lancar segalanya.”

Aku pulang seperti biasa, tenang dan tidak ada firasat apapun. Sampai waktu malam tiba, sebuah kabar yang mengejutkan membuat ayah dan paman harus berangkat ke rumah nenek.

“Assalamualaikum, sup ....” paman tiba depan pintu rumah kurang lebih jam 8 malam. Nampak sebuah kepanikan yang tergambar di wajahnya.

Ayah langsung bertanya, “Waalaikumsalam, kenapa Bud?”

“Tadi dapat kabar dari Koranji, sakit mamah kambuh lagi.”

Tanpa pikir panjang, ayah kembali ke rumah nenek bersama paman di tengah keheningan malam.

“Ya udah ayo Bud kita susulin.”

Jalan menuju rumah nenek sangatlah sepi. Tidak seperti kawasan pusat kabupaten Subang, Purwadadi merupakan kawasan sentral dari produksi buah rambutan. Beberapa komoditas juga tumbuh subur seperti jagung, singkong, hingga kacang tanah. Dengan kondisi lingkungan yang masih senggang oleh banyaknya lahan pertanian, perjalanan ayah dan paman justru sangat mengkhawatirkan. Aku dan ibu di rumah tidak bisa tidur, cemas dengan kondisi nenek yang tinggal sendirian.

Menjelang jam 12 malam, sebuah kabar yang sudah menjadi garis takdir setiap manusia itu telah tiba. Nenek dinyatakan meninggal dunia setelah mendapat perawatan dari tetangga terdekat.

“Innalillahi wa innailaihi ro’jiun.” sebuah kalimat yang tersebar sebagai Berita meninggalnya nenek tersebar cepat kepada keluarga di beberapa wilayah Jabodetabek melalui grup keluarga.

Keesokan harinya, aku dan ibu di jemput oleh keluarga tante, istri dari paman. Ibu menaiki mobil, sedangkan aku membawa motor semata wayang yang ada di rumah. Nenek dari ibu yang tinggal di rumah tidak bisa dibawa karena kondisinya sama rapuhnya.

Setelah disolatkan, aku sempat mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya. Sebuah fenomena yang menyayat hatiku, salah orang yang paling menyayangiku telah kembali pada pangkuan sang ilahi. Dan disini untuk pertama kalinya dalam hidup, aku melihat ayah menangis. Sosok yang telah merawat dirinya dan paman telah pergi untuk selama-lamanya.

Selanjutnya, aku dan saudara lainnya harus mempersiapkan agenda tahlilan dalam beberapa hari kedepan. Meskipun sangat kehilangan, meninggalnya nenek untungnya masih jauh dari jadwal aku pergi ke Bandung. Aku bertekad dengan berkuliah nanti, semoga ilmunya bisa di amalkan dan pahalanya mengalir pada almarhum nenek di alam sana.~

***

Masa duka berlalu, kehidupan terus berjalan maju. Mendekati hari dimana aku harus ke Bandung, aku merasakan sebuah kebimbangan. Beberapa kawan lama yang sudah mendapat informasi tentangku yang akan mulai berkuliah memperingatkanku untuk menjaga pergaulan di ibu kota Provinsi nanti. Selain mendengar peringatan berbagai nasihat, aku tambah bimbang ketika baru terpikirkan kalau aku tidak tahu harus tinggal dimana saat sudah mulai beraktivitas di kampus. Melihat kisaran harga kos-kosan kota Bandung di google membuat pikiranku semakin penat. Apalagi, ibu sudah membayar berbagai biaya sebagai tindak lanjut diterimanya aku.

“Waduh, harga kosannya gila juga ya. Dulu teman-teman SMA perasaan di bawah 500.” Gumamku yang mulai semakin gelisah. “Apa ibu masih ada uang? Aduh gimana ya?”

Namun tiba-tiba, sebuah ide kecil terlahir. Aku menghampiri ibu untuk menyampaikan ide tersebut.

Lihat selengkapnya