Aksara 4 Cangkir

Adam Nazar Yasin
Chapter #5

Nuansa tak Disangka

Saat kemarin tiba di Bandung, grup WhatsApp agribisnis angkatan 2018 mulai aktif dan saling memperkenalkan diri satu sama lain. Beberapa nama seperti Muchlis, Rifqi, Faisal, Endang, Raka, Rafi, Riki, Hendra, Dela dan Iqbal sudah berani memperkenalkan dirinya masing-masing. Dan aku sangat senang saat tahu kalau Dela dan Rifqi merupakan mahasiswa yang berasal dari Kabupaten Subang. Beberapa dari mereka juga saling bertanya terkait informasi kosan atau kontrakan murah di sekitar kampus. Meskipun masa orientasi tinggal hitungan hari lagi, ternyata beberapa dari mereka yang belum memiliki tempat tinggal yang tetap. Nampaknya, berada di rumah Nenek Uan membuktikan bahwa rezeki tidak hanya soal uang.

“Assalamualaikum, perkenalkan saya Adam. Asal saya dari Subang, Salam kenal ya.” pesanku di grup.

“Halo aku Dela, asal daerah dari Subang juga,”

“Hai, Saya Rifqi, sama juga dari Subang.”

Aku sangat antusia dan bertanya lebih spesifik, “Wah alhamdulillah ada yang dari Subang juga, Subangnya dari mana nih?” tanyaku sambil tag mereka berdua.

“Saya dari Cijambe,” balas Rifqi.

Dela membalas juga, “Aku dari Pamanukan.”

Melihat Rifqi dari kawasan Subang bagian selatan sangat membuatku senang. Kecamatan itu tidak jauh dari pusat kota Subang.“Wah, dekat dong ke Subang kota. Cijambe sebelah mana qi?”

Rifqi memberikan keterangan yang semakin spesifik, “Dekat yang banyak kolam ikan dam. Ada jalan depan Apotek Dinar.”

Jujur aku tidak mengetahui dimana letak apotek itu, namun sepertinya jika ingin pulang ke Subang aku ada opsi untuk menumpang.

“Oh begitu, sip deh mantap.” jawabku yang menutup topik tentang daerah asal.

Selain Dela dan Rifqi, beberapa orang sudah memberitahu darimana mereka berasal seperti Iqbal dan Faisal berasal dari Bandung, Endang dari Sumedang, serta Rafi dari Jatinangor. Sementara Raka, Hendra dan Riki berasal dari satu pulau Sumatra dan dari kota yang sama, yaitu Palembang.Selain mereka, Ada juga Muchlis yang tidak kalah jauh, yaitu berasal dari kabupaten Karanganyar Provinsi Jawa Tengah. Beberapa kontak lainnya terlihat tidak menunjukan aktivitas.

“Wah gokil nih punya teman dari pulau sebrang,” gumamku dengan antusias.

Sedang asik memantau grup, nenek Uan yang sedang duduk di ruang tamu bertanya saat aku berjalan untuk mengambil makan di dapur.

“Dam, kuliah teh mulai senin?”

“Iya nek, hari senin ke kampus. Tapi enggak langsung belajar. Ada orientasi dulu selama empat hari.” Aku sedikit menjelaskan dari pertanyaan nenek Uan, meski aku yakin beliau tidak akan mengerti apa itu masa orientasi.

“Tapi nanti pertama pakai ojek dulu aja. Biar cepat sampai. Kalau naik angkot nunggu penuhnya takut agak lama. Nanti nenek coba cari, suka ada di depan tetangga yang suka ngojek.” saran nenek Uan.

“Oh iya nek, boleh deh.” Aku hanya bisa menuruti masukannya.

Sarannya cukup masuk akal, mengingat sudah ada informasi yang masuk di grup WhatsApp kalau masa orientasi di hari senin akan dimulai pada pukul 6.30 pagi. Aku khawatir jika memesan ojek online takut harus menunggu lama. Apalagi, jalanan ke titik rumah lumayan sempit dan pasar Cangkring rawan macet oleh lautan manusia.

Namun tepat di hari rabu, aku mendapat informasi bahwa calon mahasiswa baru harus datang ke kampus pada hari kamis untuk mengikuti agenda persiapan masa orientasi. Untungnya, agenda tersebut dimulai pada jam 10.

“Ini bisa santai sih, enggak usah pakai ojek .... ” gumamku yang berniat menaiki angkot pada esok hari sambil menghafal rute jalanan umum ke kampus nanti.

Namun saat hari kamis tiba, aku yang berangkat dari jam 8 lewat sedikit hanya menaiki angkot sampai terminal Kebon Kalapa. Benar kata nenek Uan, angkot disini lumayan menunggu lama sampai muatan agak penuh. Saat sampai terminal, lupa harus naik angkot mana lagi untuk sampai ke jalan Palasari.

“Kemarin sama ibu naik yang mana ya? Mana banyak yang belum penuh lagi angkotnya.” aku bingung sendirian dan enggan bertanya. Jam di tangan juga sudah menunjukan pukul 9.

“Ah ya sudah deh takutnya telat kalau kelamaan, mending ojek lagi aja.” sambil membuka aplikasi ojek online untuk mempercepat perjalanan.

 Saat menaiki ojek, aku mencoba menghafal jalanan Bandung yang sedang ramai oleh kendaraan roda empat. Melewati gedung konferensi Asia-Afrika, aku jadi mengingat momentum Study Tour saat kelas 4 SD dulu.

 “Masih kayak dulu enggak ya kira-kira?” aku mencoba kembali memupuk ingatan masa kecil itu, hari dimana aku memasuki gedung bersejarah itu.

 Dua puluh menit berlalu, tidak terasa sudah sampai di depan kampus. Aku memasuki kelas sesuai arahan panitia yang sudah menyambut di pintu utama. Ratusan calon mahasiswa baru lainnya terlihat diarahkan untuk masuk ke dalam kelas yang berada di lantai 4. Saat kelas sudah dirasa penuh, seluruh peserta dipandu untuk menghafal mars Muhammadiyah dan mars dari Universitas Muhammadiyah Bandung. Agenda ini dipandu oleh seorang dosen yang memegang keyboard di pojok kelas yang bernama Pak Agung. Kami membuka soft file yang kemarin sudah dibagikan yang berisi 2 karya syair sakral dan dilantunkan dengan harmoni dalam alunan keyboard modern.

“Teman-teman, sebelum kalian memulai masa orientasi nanti, tolong hafalkan dulu kedua mars tersebut ya. Supaya acara di hari senin nanti bisa terselenggara dengan baik dan harmoni.” Ucapnya yang di dampingi oleh dirigen yang siap memandu nyanyian dari para calon mahasiswa baru.~

***

Setelah satu pekan beradaptasi dengan lingkungan Cibuntu, tiba waktunya aku untuk masuk pada masa orientasi kampus. Aku yang baru saja menunaikan solat subuh di masjid langsung bergegas mandi dan mempersiapkan diri untuk berangkat. Meskipun sudah beradaptasi selama satu pekan, aku masih belum terbiasa dengan dingin air di kota Bandung. Setiap guyuran gayungnya cukup membuat seluruh badan ini gemetar.

“Dam, ini ojek sudah datang.” nenek Uan memanggilku yang sedang siap-siap di kamar.

Lihat selengkapnya