Aksara 4 Cangkir

Adam Nazar Yasin
Chapter #6

Main itu Belajar

Empat hari telah berlalu, akhirnya aku tiba merasakan ruang perkuliahan. Namun tidak ada yang terlalu istimewa di hari pertama ini, hanya perkenalan dari setiap orang beserta asal daerahnya masing-masing kepada dosen yang mengajar. Sama seperti saat di hari ketiga PESONAMU, semua masih belum terlalu berbaur satu sama lain.

Saat di hari pertama kuliah, hanya ada 2 mata kuliah yang baru dimulai untuk angkatan 2018, Yaitu Al-Islam Kemuhammadiyahan dan PPKN. Berakhirnya jam perkuliahan membuat teman-teman kelas mampir ke kosan Rifqi sebagai tempat terdekat. Disana, aku berkenalan dengan mahasiswa kampus dari jurusan Bioteknologi yang memiliki nama yang sama denganku, yaitu Adam Agung. Dirinya yang sama merantau denganku ini berasal dari Kemayoran, Jakarta Pusat. Beberapa saat setelah tiba dan ngobrol santai sejenak, terdengar adzan dzuhur berkumandang.

“Qi, masjid dari sini deket?” Tanyaku pada Rifqi.

“Itu di depan, tinggal nyebrang. Suara adzan juga dari situ .... ” Sambil menunjukan jarinya ke arah timur laut.

“Oh gitu, oke deh.”

Namun setelah melihat teman yang lain, aku tidak melihat sosok Faisal.

“Eh, si Faisal mana?” tanyaku pada semuanya.

Iqbal mejawab, “Udah duluan ke masjid kayaknya dam.”

“Oalah, oke deh. Mau pada solat disini atau ke masjid?” aku bertanya sebelum melangkah keluar.

“Sok duluan dam.”

Namun tidak lama, yang lainnya mengikuti. Kami memasuki masjid itu melalui gerbang samping yang terbuka. Aku belum tau nama masjid itu apa, namun melihat bagian luarnya yang sangat asri oleh tumbuh-tumbuhan membuat masjid ini wajar didatangi banyak orang singgah untuk solat. Terlihat di samping kiri gerbang utamanya ada instalasi Hidroponik yang terlihat sedang tidak ada tanaman. Dan benar kata Iqbal, ternyata Faisal sudah lebih dahulu pergi ke masjid.

Selesai solat, Iqbal mengajak yang lainnya untuk bersantai sejenak di teras samping kanan masjid. Teras itu sebenarnya merupakan halaman taman anak-anak milik DKM Masjid. Luas dan nuansanya cocok untuk tempat beristirahat dan makan siang. Aku menyantap bekal yang Nenek Uan sudah bawakan dari rumah. Perlahan, teman-teman mulai berbincang satu sama lain.

“Dam, tinggal dimana?” tanya Faisal.

“Aku sementara di rumah nenek di Cibuntu.”

Meski Iqbal dan Faisal orang Bandung, mereka nampak asing mendengar kawasan itu,

“Perasaan pernah dengar, tapi dimana ya ....” respon Iqbal.

“Kalau di Google Maps sih di dekat jalan Soekarno-Hatta yang ujung itu, arah ke Cimahi. Tapi kurang tau juga sih, belum pernah main sampai sana.” Aku membuka Google Maps dan menunjukan letak kawasan tempat tinggal aku saat ini.

“Oh daerah situ, lumayan juga.”

Aku bertanya pada Endang yang sedang menyeruput kopi, “Kalau Endang tinggal dimana?”

“Urang ikut tinggal di rumah kakak dekat rumah sakit Al-Islam daerah Arcamanik.” jawabnya dengan spesifik. Aku tidak tahu tepatnya itu dimana, yang jelas nama Arcamanik masih melekat saat aku mengikuti kegiatan dengan organisasi di Subang ketika saat berkunjung ke Bandung tahun lalu.

“Kalian berdua yang asli dari Bandung? Daerah mana?” tanyaku pada Faisal dan Iqbal.

Iqbal menjawab, “Urang Aslinya Cicaheum dam. Tapi sekarang lagi tinggal di Gatot Subroto nempatin rumah bibi. Depannya Trans Studio Bandung pisan sih.”

“Urang di dekat pasar Kosambi dam.” ujar Faisal.

Entahlah kedua kawasan itu dimana, tapi aku bersyukur punya teman asli dari kota kembang ini.

Hari pertama cukup membuatku terkesan dengan lingkungan baru ini. Setiap teman nampak memperlihatkan hal yang positif dalam tingkah lakunya. Baik dosen dan kakak tingkat, semua terasa damai dan sejuk. Meskipun kampus baru dengan gedung minimalis, kesejukan kawasan Lengkong membuatku betah berlama-lama disini.~

***

Hari demi hari terus aku lalui dengan teman-teman baru. Aku merasakan kecocokan dengan berbagai hal yang ada dalam diri mereka. Meskipun semuanya terlihat akrab, namun aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Faisal, Iqbal, dan Endang. Yang lainnya lebih sering pulang ketimbang melingkar untuk meminum kopi bersama di teras masjid Al-Hidayah, masjid yang dekat dengan kosan Rifqi. Entah itu persoalan tugas kuliah, Himpunan, atau alasan satu sama lain kenapa masuk agribisnis, semua nampak menjadi suatu interaksi yang terpadu. Bermain dengan mereka membuatku banyak belajar hal baru.

Suatu hari, Faisal mengajak aku dan yang lainnya untuk mengunjungi sebuah tempat yang menjadi kunjungan favoritnya, yaitu masjid Al-Lathif di jalan Saninten kawasan Cihapit. Masjid itu menjadi markas bagi gerakan pemuda hijrah yang di prakasai oleh Ustadz Hanan Attaki. Mendengar informasi itu, aku sangat antusias mengunjunginya. Beberapa cuplikan videonya sering lewat di beranda Instagram saat aku masih berada di Subang.

“Guys, main yuk ke Al-Lathif. Ngopinya disana aja.” ajak Faisal kepada kami bertiga.

Aku bertanya, “Dimana itu teh?”

“Dekat lapangan Supratman dam, tau gak?”

“namanya sih pernah dengar. Nama pahlawan kan itu?” aku teringat foto pahlawan yang membawa golok di pecahan uang seribu.

“Wahaha bukan nama pahlawan yang ada di uang. Ini nama lapangan futsal gratis di kota Bandung. Ayo deh gaskeun dulu.”

Iqbal juga sangat antusias, “Ayo ngopi disana ah lebih adem.”

“Gaskeun!” Endang menyalakan motornya dengan semangat.

Aku yang hanya bisa menunpang sangat antusias diajak ke berbagai tempat baru itu, “Wihh, ayo deh.”

Setibanya di lokasi, aku melihat logo ‘Shift’ di bagian samping kanan masjid. Aku pernah melihat logo itu dari postingan ustadz Hanan Attaki yang merupakan nama dari komunitas pemuda hijrah di Bandung itu. Terlihat ada semacam distro yang menjual berbagai merchandise dengan label ‘shift’ mulai dari kaos, jaket, hingga topi. Aku menghampirinya, namun tiba-tiba...

Lihat selengkapnya