Hampir menuju akhir semester 2, aku sangat menikmati hari-hari di Kota Bandung. Manfaat merantau semakin nyata ketika ilmu yang didapat bukan sekedar dari akademik semata. Baik teman satu prodi, angkatan, bahkan tetangga rumah nenek Uan membuatku semakin menuju orang berilmu dan beradab.
“Menuju satu tahun merantau, cepat sekali sang waktu.” gumamku saat melamun di warung kopi kampus.
Namun di semester depan, aku harus pindah dari rumah Nenek Uan. Kampus utama Universitas Muhammadiyah Bandung yang berada di Panyileukan sudah hampir rampung dan siap digunakan pada tahun ajaran baru. Sebenarnya, tahun lalu diproyeksikan bahwa angkatan 2018 sudah bisa belajar di gedung yang berada di dekat Polda Jabar itu. Namun karena ada beberapa kendala, nampaknya gedung dan fasilitas belum siap untuk digunakan.
Selain ke Al-lathif, Faisal dan Iqbal sering mengajak aku dan Endang untuk menjelajah berbagai sudut kota Bandung seperti Masjid Salman ITB, café 372 di Dago, hingga motoran ke arah lembang hanya untuk sekedar melepas penat. Aku benar-benar sangat bersyukur, akhirnya jiwa yang dahulu banyak menghabiskan waktu di rumah, sekarang punya bahan cerita jika suatu hari perlu bercerita pengalaman.
Namun suatu hari, Iqbal punya ide untuk petualangan yang lumayan gila dan menantang. Dia mengajak anak agribisnis 2018 mendaki dan menjelajah Gunung Lawu yang berada di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.
“Guys, muncak yuk sebelum semester 3 nanti ....” katanya saat kami berempat sedang nongkrong di warung kopi depan kampus.
“Kuy ah, udah lama belum muncak lagi. Kemana nih kira-kira? Gunung Putri? Ciremai? Atau yang paling dekat aja ke Manglayang?” Faisal memberikan alternatif.
“Ah biasa itu mah. Gunung Lawu yuk!”
Faisal Kaget bukan main, “Buset brother, ente serius?”
Iqbal menjawab sambil tertawa, “Ah elah, ayolah. Mumpung kita masih muda, kapan lagi coba? Lagian ada mas Muchlis yang jadi orang sana. Urang udah nanya, dia pernah muncak ke sana. Coba nanti urang ajak juga yang lain ....”
Sejujurnya, aku agak bingung kenapa Faisal harus kaget. Aku browsing sejenak untuk mengetahui bagaimana profil gunung Lawu dari Wikipedia.
“Ketinggian 3.625 mdpl, berada di antara Magetan, Ngawi, dan Karanganyar. Terdiri dari 5 jalur pendakian ….”
Beberapa keterangan utama itu nampak tidak ada yang aneh. Namun di artikel lain ternyata ....
“Aduh, serem juga euy,” Aku tiba-tiba mendadak takut melihat rekam jejak dari gunung Lawu.
Diantara ratusan gunung di Indonesia, ternyata gunung Lawu merupakan salah satu yang paling angker dan banyak menyimpan misteri. Beberapa sumber menuliskan bahwa Gunung Lawu di prediksi merupakan tempat menghilangnya Raja Majapahit yang terakhir, yaitu Prabu Brawijaya V. Selain itu, mitos adanya pasar setan membuatku semakin merinding.
“Guys, serius nih? Emang gak ada gunung lain apa?”
Iqbal sedikit meledek, “Takut yaa? Hahaha ....”
Mau tidak mau, aku harus memberanikan diri, “Gak gitu, maksudnya barangkali ada yang lebih dekat. Tapi ya kalau mau kesana ayo sih. Tapi izin dulu ke orang tua.” Aku tetap merasa ada sedikit ketakutan meskipun sudah memberanikan diri.
“Oke, berarti kita bereskan dulu UAS ya. Abis itu kita pikirin jadinya mau kapan. Bosen di Jawa Barat terus ....” ucap Iqbal yang sangat semangat berpetualang ke belahan bumi lainnya.
Saat di kelas, Iqbal menghampiri Muchlis, “Mas, nanti sebelum semester 3 ke Lawu yuk. Tadi urang udah ngajakin yang lainnya, mereka siap.”
Muchlis sangat antusias mendengarnya, ”Wihh, yakin nih? Nanti di rumah aku aja dulu nginepnya. Sambil liat situasi baiknya kapan buat muncak.”
Iqbal mengumumkannya dengan gembira, “Tuh guys, si mas sudah siap.”
Tiba-tiba dirinya melirikku, “Dam, gimana nih? Gas gak?”
Aku nampak ragu mengiyakannya, “Iye insyaallah, kalau ada rezekinya ....”
Sejauh ini, aku baru sekali mendaki gunung, yaitu Gunung Palasari di Cilengkrang Kabupaten Bandung pada Bulan Januari lalu. Momentum itu aku ikuti saat kawanku yang menjadi anggota komunitas Satu Bumi Kita (SABUKI) di kota. Namun saat itu pendakian tidak sampai camping, gunung yang hanya memiliki ketinggian 1.852 mdpl itu membuat semuanya mampu pergi dari pagi dan pulang pada siang harinya. Dan Gunung Lawu, akan menjadi pendakian keduaku dalam hidup.~
***
Semester 2 telah berakhir, aku pamit dari rumah nenek untuk mencari kosan yang dekat dengan gedung kampus yang baru. Ibu yang sudah tau kondisinya langsung menyusul ke Bandung dan membantu mengurus kepindahanku. Namun, Nenek Uan sedikit terlihat sedih dengan kepindahanku.
“Nek, Adam pamit dulu ya. Soalnya kejauhan kalau dari sini.”
Beliau dengan sedikit serak menjawab, “Padahal mah udah weh disini, gapapa jauh juga.”
Sejujurnya dengan keinginan untuk hemat, aku masih bisa tinggal disini. Tapi proses hidup yang semakin menggebu membuatku ingin lebih banyak menghabiskan waktu di kampus. Aku menjelaskan lebih detail kenapa harus pindah.
“Semester depan bakal banyak kegiatan, jadi butuh tempat tinggal yang lebih deket nek,”
“Ya udah atuh, Semoga lancar kuliahnya ....” harap nenek Uan padaku.
Ibu dan aku pamit dari rumahnya, “Wa, Pamit dulu nya. Nanti kalau ada waktu abdi main lagi kesini, Wassalamualaikum ....” aku mencium tangannya dan ibu memeluknya dengan erat.
“Waalaikumsalam, hati-hati di jalannya.”
Menaiki DAMRI di jalan Soekarno-Hatta, aku dan ibu pergi ke belakang kampus baru untuk mencari kosan. Setelah berkeliling cukup lama, aku menemukan kosan di jalan Aditya no 25 yang lebih terjangkau dari yang sudah ditemui. Dengan sewa 650 ribu per bulan sudah mencakup kamar mandi didalam, Wifi, dan kasur. Letaknya yang berada di pinggir masjid membuatku tidak khawatir kesiangan solat subuh. Karena takut disewa orang lain, aku bilang pada ibu bahwa aku merasa cocok disitu. Apalagi, beberapa hari kemudian aku akan pergi ke Gunung Lawu. Aku perlu waktu untuk mempersiapkan segalanya.
“Segini buat ke Jawa cukup?” kata ibu sambil menyodorkan uang sebanyak 600 ribu.
“Insyaallah Cukup.”
Ibu juga menyerahkan laptop yang dulu kami beli. Nampak dirinya merasa kalau aku sudah waktunya memakai laptop.
“Nih laptopnya pakai Adam aja,”
“Iya Alhamdulillah ....”
Rencana mendaki Gunung Lawu jadinya akan di ikuti oleh 6 orang yang berangkat dari Bandung yaitu, Aku, Endang,Iqbal, Faisal, Rifqi, dan Rafi. Karena Iqbal dan Faisal yang tau mekanisme memesan kereta, kami menyerahkan komando pemberangkatan pada mereka berdua.
“Guys, jadi tanggal 25 Agustus ya. Gimana?”
Karena Iqbal sudah mempertimbangkan tanggal, yang lain bersedia mengikuti keputusannya.~
***
Hari pemberangkatan tiba, semuanya terasa baik-baik saja. Sampai sebuah kesalahan fatal terjadi. Kami yang berencana mendaki Gunung Lawu membuat grup terpisah, khawatir anggota grup yang lainnya terganggu. Karena semua sudah sepakat, aku mengira semuanya sudah tinggal berangkat saja dan tidak perlu ada yang saling ‘mengingatkan’. Siang harinya, aku sudah selesai berkemas dan siap berangkat menuju titik kumpul di stasiun Kiara Condong. Namun, grup terpisah itu benar-benar sepi.