Semester 3 ini lumayan membuatku pusing. Bukan hanya karena kegagalan panen saat menanam tomat, tapi narasi tentang prospek pertanian yang dulu mengaum begitu lantang seperti singa di dataran Afrika, kini hanya seperti kucing orange rumahan. Meski di topang oleh label hidup di negara agraris, aku tidak menemukan sesuatu yang amaze berada di lingkungan agribisnis ini.
“Kok gini-gini aja ya belajar agribisnis,” gumamku saat melamun di dalam perpustakaan.
“Menanam benih, menyemai, merawat tanaman dengan lama, panen, terus mengolah biar punya awet dan nilai tambah, udah gitu aja?”
Aku terus coba memikirkan apa yang istimewa dari semua yang aku pelajari. Setelah merenung secara mendalam, nampaknya tidak ada yang spesial dari proses pengajaran disini.
“Kalau cuman begitu, ngapain harus kuliah ya? Padahal belajar aja ke petani langsung. Produsen keripik kaca dan Ongki Banana Chips yang dulu aku jual juga agribisnis, belajar ke mereka aja.”
Sesekali aku merasa tidak terlalu memerlukan teori yang membuat hari-hariku ngantuk. Namun bukan hanya aku saja yang mengeluh.
Di penghujung hari dengan 4 gelas melingkar pada meja yang sama, ketiga teman ngopiku juga merasakan hal yang sama.
“Kenapa yah di kelas kok kita ngomongin kekurangan petani terus? Katanya profesi dengan prospek cerah, gimana sih?” ucap Iqbal yang mengungkapkan kegelisahan yang sama.
“Betul juga ya, selama ini narasi yang di bangun kakak tingkat kita dengan masalah di lapangan kayak enggak sinkron. Prospek kok masalah terus ya?” kata Endang yang juga menyadari hal itu.
Faisal hanya bisa menyimak keluhan kami di atas meja dengan kopi yang masih ngebul oleh asap. Aku merasa dirinya juga punya sudut pandang yang sama, namun dia tidak pandai dalam mengungkapkan hal-hal akademis seperti ini.
Ketika pulang ke kosan, aku tidak lagi tertarik melihat instalasi hidroponik wick system milik pak Fauzi. Meskipun beliau memiliki hasil yang nyata dengan instalasi tersebut, aku lebih memilih diam di kamar sambil bermain mobile legends atau bernyanyi diiringi oleh aplikasi piano di laptop. Entahlah aku ini kenapa, yang jelas aku semakin tidak bertaut dengan semua materi disini.
Namun aku sadar, pencarian jati diriku masih harus berlayar. Jangan sampai pulang ke rumah tidak bawa apa-apa. “Mungkin aku harus tingkatkan aktivitas hidup di organisasi dulu kali ya? Mumpung Rafi punya banyak ide untuk program riset.” ucapku yang sedang berbaring di kasur.
Seperti yang sudah sering aku alami, niat baik selalu bagaikan doa yang terkabul. Tidak lama setelah berfikir untuk meningkatkan aktivitas di organisasi, pihak program studi meminta bidang riset himpunan untuk mempersiapkan seminar tentang statistika. Kebetulan, rancangan program bidangku juga menginginkan hal tersebut.
“Adam, Hima tolong adakan seminar statistika dong, kayaknya banyak mahasiswa yang butuh.” ucap bu Eni.
Aku secara formal menjawab, “Oh gitu, nanti coba Adam diskusikan dulu ya bu dengan yang lain ....”
Dalam dimensi kehidupan akademis seperti kampus, memahami ilmu statistika menjadi hal yang fundamental dalam proses penelitian. Entah itu untuk kepentingan skripsi atau jenis karya ilmiah lain, menguasai statistika membuat kesimpulan dari hasil penelitian semakin representatif, sehingga pengambilan keputusan akan jauh lebih kuat landasannya.
Setelah rapat berkali-kali untuk mempersiapkan seminar statistika, semua menyepakati bahwa agenda tersebut akan dilaksanakan pada 1 November 2019. Karena diriku yang menjadi ketua bidang riset, maka ketua pelaksana juga di amanahkan padaku. Pihak prodi pun sudah mengadakan pembicaraan dengan seorang dosen yang kompeten di bidang statistika, yaitu Dr. Dra. Elly Rasmikayati, M.Sc. Beliau merupakan dosen dari UNPAD.
“Oke guys, mekipun kita masih semester 3, yang namanya ilmu seperti ini harus bisa di dapatkan dari masa sekarang. Insyaallah saat nanti waktunya kita melakukan penelitian, statistika ini akan sangan berguna. Mungkin di tengah persiapan ini kita akan menghadapi hal yang merepotkan, jadi aku harap kita bisa solid sampai waktu yang sudah ditentukan. Dan yang paling penting, kita niatkan agenda ini sebagai upaya menyebarkan ilmu yang bermanfaat .…” kataku saat melakukan briefing pada semua rekan pengurus himpunan.
Meskipun penuh dengan pikiran yang overthingking, semoga momentum ini bisa menjadi penetralisir pikiranku yang gamang berada disini.~
***
Saat masih di kampus Palasari, bu Yayu sebagai pembimbing akademik kami menghimbau untuk angkatan 2018 agar bisa berprestasi melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Karena Endang punya sebuah gagasan, aku kembali dilibatkan untuk membantu menyusun proposalnya. Sejujurnya, aku tidak begitu tertarik dalam idenya yang ingin mengolah buah ceplukan di kampungnya menjadi produk jus. Namun setelah dipikirkan kembali, pengalaman dalam menyusun proposalnya lumayan menambah kapasitas diriku.
“Dang, mau coba PKM? Yang mengolah buah ciplukan itu bisa di masukan ke kategori PKM-Kewirausahaan.” ucap bu Yayu di saat kelas berlangsung.
Endang menanggapinya, “Iya boleh bu, nanti Endang coba usahakan bisa submit.”
Bu yayu menanyakan tentang siapa saja anggota timnya, “Siapa aja anggota timnya?”
Dirinya melirik kami bertiga, “Guys. Join ya? Bantuan urang ....”
Aku hanya mengangguk, mencoba mengikuti arus kemana kompetisi yang menjadi ‘hajat mahasiswa’ ini bermuara. Entah apakah Iqbal dan Faisal akan membantu, namun dengan masuknya mereka setidaknya bisa menjadi syarat lolos secara administrasi.
Suatu hari di pertengahan bulan Oktober, kampus mengadakan sosialisasi tentang Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Karena program ini merupakan budaya dari kompetisi perguruan tinggi di Indonesia, kampus mengundang pihak dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) sebagai lembaga yang menaungi kompetisi tersebut.