Memasuki usia ke 20, nampaknya harus mulai berfikir untuk bisa punya usaha yang mulai dirintis. Rasanya, meminta uang pada ibu dan ayah mulai malas. Apalagi di tengah kampus dengan kurikulum technopreneur, ingin sekali aku mencuri start agar punya produk dan menambah penghasilan. Apalagi, semua teori yang dipelajari rasanya hampa jika tidak di imbangi dengan praktek mandiri. Dan akhirnya, aku berniat untuk mengulangi masa lalu.
“Oh iya, kenapa gak jualan cireng lagi aja ya? Lumayan cocok buat daya beli mahasiswa sekitar sini.” gumamku yang tiba-tiba ingat kalau A Uzi dulu mengambil cirengnya dari kawasan Baleendah. Pastinya kondisiku saat ini jauh lebih dekat untuk bisa mengunjungi pabriknya.
Namun aku melupakan satu hal penting, “Eh, tapi nanti menaruh cireng mentahnya dimana yah? Engga mungkin dong beli freezer mendadak terus taruh depan kamar. Bisa tekor token listriknya.”
Sempat terbesit agar aku bisa meminjam uang pada ibu untuk membeli freezer kecil agar bisa merintis kembali cireng. Dengan pengalaman mengelolanya saat dahulu, aku begitu yakin cireng ini akan laku keras di sekitar Panyileukan hingga Cibiru.
Tapi setelah mengkaji ide gila itu, aku mengurungkan niat itu. Bukan hanya karena belum ada uang membelinya, namun kalau suatu saat harus pindah kosan maka kerepotan yang akan dialami bisa berkali-kali lipat.
“Ga jadi deh. Nanti jualan yang lain aja, harus kaji ulang lagi.” gumamku yang mematikan laptop saat melihat-lihat harga freezer.
Namun tiba-tiba, aku teringat sebuah hal baik. Seorang dosen yang ahli dalam bidang pengolahan hasil panen pertanian---pak Agus, baru saja membeli freezer untuk praktikum mahasiswa agribisnis. “Apa pakai aja ya freezer di lab? Coba bilang dulu deh ke bapaknya.” lalu aku menghubungi pak Agus melalui pesan WhatsApp.
“Assalamualaikum pak Agus, mohon maaf menganggu waktunya. Jadi begini pak, Adam tuh mau menjalankan usaha cireng isi, hanya penyimpanannya butuh freezer. Kira-kira boleh enggak pak kalau freezer yang di lab agribisnis Adam gunakan buat menjalankan usaha sendiri?”
Sejujurnya pesan itu membuatku cemas. Pak Agus merupakan dosen yang baik, namun di WhatsApp terkadang tidak membalas karena beliau juga punya urusan di kantornya sendiri. Tapi untuk kesekian kalinya, bukti bahwa “bersama kesulitan pasti ada kemudahan” itu nampak terjadi di tengah keterbatasanku yang ingin berniat baik untuk memulai usaha.
Pak Agus membalas pesanku, “Waalaikumsalam, mangga dam. Semoga lancar usahanya yah .…”
Membaca pesan itu, air mataku nampak sedikit keluar. Ada rasa haru yang terlahir dengan dibolehkannya aku menggunakan fasilitas yang di kelolanya.
“Amiin, terima kasih banyak pak.” balasku sambil menyematkan emoticon telapak tangan yang bersentuhan.
“Horee Cireng, i miss ngegoreng!” aku sedikit berteriak di dalam kosan.
Namun setelah beberapa saat, sepertinya aku punya masalah baru. Aku belum pernah ke pabriknya di Baleendah itu, “Waduh, dulu enggak nanya spesifik ke A Uzi, dimana alamat produsennya ya?”
Tapi untungnya, aku ingat sesuatu,”Oh iya! Namanya Republik Cireng.”
Aku membuka laptop dan membuka google maps mencari nama brand itu di sekitar Baleendah. Syukurnya, keberadaan brand cireng isi itu terdeteksi. Lokasinya dekat dengan Pondok Pesantren Modern Al-Ihsan.
“Alhamdulillah, ketemu juga lokasinya ….” gumamku sambil mengelus dada.
Namun lagi-lagi, masalah baru muncul di pikiranku. “Eh tapi, aku ga tau rute kesana euy, gimana yah?”
Sudah memasuki 1 tahun lebih, aku jarang kemana-mana sendiri kalau tidak ada tumpangan. Kawasan kota Bandungnya saja belum aku langkahi banyak, apalagi regional Kabupaten. Sesekali aku pernah pergi dari terminal Kebon Kalapa dengan angkot yang berwana lain, dan malah tertipu oleh supirnya. Aku bilang ingin pergi ke Palasari, namun si supir malah mengantarkanku ke jalan Palasari yang berada di Dayeuhkolot.
Namun kesekian kalinya, hidayah muncul lagi dan lagi. “Oh iya, Faisal!”
***
Tuutt,,Tuutt…
WhatsApp Faisal terlihat berdering. Beberapa saat kemudian, teleponku diangkatnya.
Adam : Assalamualaikum….
Faisal : Waalaikumsalam, gimana dam?
Adam : Sal lagi sibuk gak? Urang butuh bantuan nih….
Faisal : Bantuan gimana?
Adam : Anterin ke Baleendah yuk, pengen liat pabrik cireng.
Faisal : Hah pabrik cireng? Ngapain?
Adam : Urang mau jualan cireng isi, pengen tau pabriknya. Tapi kalau engga sibuk itu juga…
Faisal :Eummm, besok sih hayu. Jam berapa?
Adam : Sebisanya ente aja, fleksibel kok….
Faisal : Oke siap, nanti urang kabari lagi.
Adam : Nuhun ya, wassalamualaikum….
Faisal : Siap dam, Waalaikumsalam….
Aku sangat optimis kalau dirinya bisa mengantarkanku ke Baleendah. Selain karena motornya selalu tersedia, dirinya selalu antusias kalau soal jalan-jalan.
Dan keesokan harinya, Faisal datang sekitar jam 9. Suara motornya sudah terdengar masuk ke dalam kamarku.
Tok tok tok….
Terdengar suara ketukan pintu yang pelan. Aku membukanya, dan ternyata benar itu Faisal.
“Assalamualaikum .…” Ucapnya sambil membawa helm untukku.
Aku memastikannya kembali, “Waalaikumsalam, emte bawa 2 helm?”
“Yoi, takutnya yang itu udah ga nyaman ....”
“Mantap! Hahaha. Bentar ya siap-siap dulu. Santai dulu we di kamar.”
Memasuki jam 9.15, kami berangkat dipandu oleh google maps. Dengan melintasi jalan Soekarno-Hatta, terlihat jaraknya dari kampus sampai pabrik Republik Cireng sekitar 15,7 km dan menghabiskan waktu sekitar 35 menit jika lalu kendaraan motor.
Saat di tengah perjalanan, Faisal bertanya lebih detail lagi tentang cireng yang akan diriku perjualkan, “Kok tau ada cireng isi di Baleendah dam?”
“Oh iye belum cerita. Jadi gini, dulu pas sebelum masuk kuliah, urang hampir ada setahun kerja ke guru ngaji urang di Subang. Kerjaannya tuh gorengin dan jualin cireng milik usaha guru urang ini ke anak-anak SD IT di sekolah tempat beliau ngajar. Ngambil cirengnya tuh dari brand yang sekarang kita bakal datangin. Karena udah ada sedikit modal, urang ada keinginan nyoba lagi disini. Apalagi kampus kan bakal ada Koperasi.” aku menjelaskan secara umum kenapa bisa tau tentang cireng di Baleendah ini.
Faisal Meresponnya, “Oh gituu, mantap euy. Jadi panasaran gimana produknya.”