Setelah terpaksa untuk kuliah secara online, virus Covid-19 malah semakin menyebar ke berbagai penjuru wilayah Indonesia. Proses kuliah dengan mengandalkan media virtual terus di perpanjang, entah sampai kapan. Kawasan Panyileukan masih hening, suasana masjid di samping tidak pernah ramai lagi. Bahkan sampai masuknya bulan Ramadhan, keajaiban yang diharapkan itu belum kunjung tiba.
“Ya Allah, sampai kapan ini??” gumamku yang masih merindukan cireng di freezer laboratorium dan hanya bisa menghabiskan waktu dengan rebahan.
Untungnya dengan menemukan karya-karya Alffy Rev, aku menjadi punya tontonan yang menemani hari-hari yang sunyi akibat pandemi. Ternyata bukan hanya Senja & Pagi dan Bumi Terindah yang enak untuk didengar serta dilihat. Berbagai cover lagu-lagu islami seperti cover lagu Insya Allah-Maher Zain juga terasa lebih fresh dalam telingaku. Meskipun sangat sedih tidak bisa mudik ke Subang untuk lebaran karena aturan PPKM, namun pandemi ini membuatku banyak menghabiskan waktu dengan menonton hal-hal visual yang berstorytelling dengan sangat memanjakan mata di platform YouTube.
Setelah aku mengikuti selama beberapa pekan dan terus melihat berbagai karyanya, ada sebuah keunikan yang hanya dimiliki sosok yang sangat terampil dalam menggunakan LaunchPad ini. Ternyata lagu Senja & Pagi bukan hanya lagu semata, melainkan dijadikan nama buku dan kedai kopi miliknya! Sebuah konsep yang tidak pernah aku temui dari musisi manapun.
“Ada lagu judul lagu jadi nama kedai kopinya sendiri??” Aku merasa terus dibuat terkesima oleh semua yang dilakukannya.
Aku melihat berbagai review dan foto-fotonya dari kedai kopi yang berada di kawasan Yogyakarta itu melalui google maps. Dan luar biasa, tempatnya terlihat sangat estetik dan modern. Benar-benar tempat yang instagramable banget!
Aku jadi teringat impian kecilku yang masih dalam dimensi menjadi Entrepreneur, yaitu punya brand yang memiliki banyak franchise seperti Warunk Upnormal. Dulu ketika baru launching di Kota Subang, tempatnya benar-benar menjadi primadona buat semua kalangan. Aku sering melihat banyaknya pekerjaan yang terbuka oleh adanya kedai itu. Sesekali aku berfikir, mungkin di masa depan aku perlu meniru dan memodifikasi apa yang Warunk Upnormal lakukan.
Namun dengan melihat apa yang Alffy Rev dan Linka Agelia ciptakan, aku jadi punya ide baru:
“Apa aku masuk industri musik dan bikin lagu dulu aja kali ya? Nanti kalau karyaku bisa populer, kayaknya untuk bikin kedai kopi jadi gak usah cape-cape branding ….”
Sebagai mahasiswa agribisnis, memiliki kedai kopi merupakan sebuah alternatif usaha yang menurutku sangat ‘pasaran’ untuk dilakukan. Karena memang peminatnya banyak, orang-orang dari rumpun keilmuan lain juga membidik kedai kopi sebagai usaha sampingan. Namun dengan melihat rumah Senja & Pagi ini, aku melihat bahwa usaha kedai kopi bisa memiliki nilai art yang mampu menciptakan karya berbasis kreativitas.
Sampai pada 23 Juli 2020, Alffy Rev kembali membuatku tidak bisa berkata-kata. Single ke-7 miliknya yang berjudul “How Beautiful You Are” yang dinyanyikan oleh ‘angle voice’-- Hanin Dhiya benar-benar di luar nalarku!
“What? Ada yah orang Indonesia kepikiran bikin ginian?” gumamku yang sangat terkesima dengan seluruh konsep dan story telling yang disuguhkan dalam video klipnya. Berdasarkan tulisan di bawahnya, lagu dan video klip ini bercerita tentang masa pra-sejarah Bali yang menunjukkan bahwa kawasan Indonesia pernah menjadi tanah peradaban luar biasa pada masanya. Peradaban tersembunyi itu akhirnya ditemukan dan menunjukan betapa cantiknya negeri ini kala itu. Selain konsep visualnya yang tertata dengan begitu baik, satu unsur yang mengingatkan diriku pada ‘hidayah’ saat sosialisasi PKM di Oktober tahun lalu, yaitu animasi.
“Wah gokil, ini lebih deep dan punya daya pikat untuk meningkatkan value added budaya Bali ….” gumamku yang masih tidak percaya dengan terlahirnya lagu dan video berdurasi 4.03 menit itu.
Setelah beberapa saat, tiba-tiba pikiranku berimajinasi sesuatu yang entah dari mana harus memulainya :
“Menciptakan karya seperti ini dengan versi pertaniannya mungkin menarik nih. Membawa petani dan ekosistemnya pada sebuah seni yang belum pernah ada ….”
***
Pandemi ini semakin memakan banyak korban. Mereka yang disinyalir terinfeksi Covid-19 dilaporkan terus bertambah. Kuliah semakin tidak jelas, baik dosen apalagi mahasiswa semakin terasa malas hanya sekedar bertatap di layar kamera. Semester yang seharusnya banyak melakukan praktikum diganti oleh materi dan tugas yang membuat hidup semakin down.
“Ya ampun, kok jadi begini sih kuliah tuh?” gumamku yang hilang semangat karena banyak aktivitas yang tidak bisa direalisasikan. Jualan cireng secara meluas, aktif berorganisasi, sampai mengikuti berbagai ragam kegiatan pemberdayaan, semua sirna seketika.
Sejenak aku tidur terlentang dan merenungi hal-hal yang sudah aku lewati sampai sejauh ini. Dari sekian momentum hidup, aku kembali mengingat nasihat Imam Syafi’i yang menggerakanku untuk mengambil langkah perjuangan sebagai perantau.
“Udah lama gak liat tulisan itu lagi, masih ada enggak ya?” ucapku yang membuka bagian album foto di ponsel. Namun ternyata, tangkapan layar nasihat Imam Syafi’i yang berasal dari insta story Cindy pada tahun 2017 itu sudah terhapus. Akhirnya aku membuka halaman google, mencoba mencari nasihat itu lagi. Namun siapa sangka, aku menemukan sebuah nasihat itu dengan versi yang lebih panjang :
Merantaulah! Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halamannya Tinggalkanlah negerimu dan pergi ke negeri orang
Merantaulah! Kau akan mendapat pengganti kerabat dan teman
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, maka akan keruh tergenang