Sudah beberapa bulan dilanda pandemi, sebuah tragedi yang sebenarnya ingin di antisipasi oleh hasil berjualan cireng dari jauh-jauh hari itu telah tiba. Ponselku mati mendadak di tengah proses perkuliahan Pak Reza.
Blank….jlep!
“Ya Allah kenapa ini? perasaan batrenya masih ada ….” aku yang sedang makan diluar sambil mendengarkan materi kuliah Smart Farming langsung panik.
Sudah hampir 1 tahun lebih ponsel Android versi 5.1 Lolipop ini menggunakan charger desktop. Dibeli saat masih kelas 2 SMA tahun 2016, ponsel ini memang sudah diprediksi akan wafat di tahun ini.
Untungnya, Faisal menyimpan nomer ibu di Subang. Aku meminta bantuan bang Harmin untuk memberitahu Faisal kalau ponselku sudah mati.
“Assalamualaikum, Sal punten bilangin ke pak Reza dan yang lain kalau ponsel urang udah mati. Nanti join kuliah lagi kalau memang sudah ada rezeki buat beli lagi.” pesanku di WhatsApp bang Harmin.
Tragedi ini tidak membuat aku sedih berlarut-larut. Biasanya, ini sebagai pertanda bahwa akan ada gantinya yang lebih bagus. Mau tidak mau aku harus menerobos pandemi untuk pulang ke Subang dan meminta solusi untuk bisa membeli ponsel baru, tentunya dengan versi yang lebih terbaru.
“Assalamuaikum, Alhamdulillah bisa pulang juga.” ucapku yang akhirnya bisa menginjakan kaki di rumah setelah beberapa bulan terjebak pandemi.
Ibu langsung menanyakan soal ponselku, “Waalaikumsalam, itu ponsel bener gak bisa di benerin dulu?”
“Aduh kalau di benerin malah rugi bu. Itu kan udah versi lama, Adam butuh yang androidnya versi terbaru. Butuh kamera yang lebih bagus juga ….” ucapku yang sedikit berkeluh kesah.
Ibu langsung terdiam. Nampaknya beliau belum tau harus berbuat apa. Dengan penjualan cemilan di rumah yang turun, aku sedikit memahaminya. Namun bagaimana lagi, kalau ponsel baru tidak segera ada, maka aku tidak bisa melanjutkan pembelajaran. Apalagi ditambah niat untuk merintis Channel YouTube, pastinya butuh kamera yang lebih berkualitas.
Beberapa hari setelah aku pulang, ibu mengajakku ke Subang kota menemui saudara di kawasan Sukamelang. Memang biasanya kalau aku pulang sering bersilaturahmi kesini. Namun saat sampai di rumahnya, aku melihat ibu meminjam uang agar aku bisa kembali memiliki ponsel yang dibutuhkan. Entah berapa total yang ibu pinjam, namun diriku memang sudah membidik ponsel dengan kapaitas 128 GB memory internal, 4 GB RAM, dan kamera minimal 12 mega pixel. Hal ini memang dibutuhkan untuk aku yang akan memproduksi konten. Namun untungnya, aku masih menyimpan uang 450 ribu dari hasil sisa akas penjualan cireng. Meski hanya punya segitu, semoga bisa meringankan uang yang akan ibu keluarkan.
Setelah dari tempat saudara, kami bergegas untuk ke salah satu konter ponsel yang menghimpun beberapa brand smartphone ternama. Namun, sebuah kejadian yang lucu tiba-tiba hadir. Ketika aku sedang memilih berbagai ponsel yang berada di hadapan mata, ibu melarang membeli ponsel dengan brand yang salesnya terlihat agak gemulai.
“Dam, jangan beli yang baju orange itu yah ….” ucap ibu sambil menarikku ke belakang.
Aku memperhatikan sosok yang ibu tunjuk, “Orang itu? Kenapa?”
“Kayak banci, jangan yang itu deh ….” jawab ibu. Aku tertawa mendengarnya, “Hahaha, bukan itu yang Adam mau. Masih brand yang sama dulu aja deh ….”
Setelah melihat beberapa ponsel yang berbagai sales rekomendasikan, aku langsung mengambil ponsel dengan spesifikasi yang sudah aku rasa butuh untuk di miliki. Beberapa sales brand terlihat menggodaku untuk membeli produknya, namun aku sendiri sudah punya pilihan. Meski begitu, aku melakukan cek terhadap kameranya.
“12 mega pixel dan bisa ngambil gambar secara wide. Okeyy, cukup deh ….” ucapku yang merasa cukup dengan ponsel Vivo Y30 yang memiliki harga 2,8 juta itu.
Meski membutuhkan kamera yang bagus, saat ini yang aku prioritaskan tetap memori internal. Setidaknya, aku ingin ponsel baru ini bisa sampai mengantarkan diriku pada masa penyusunan skripsi di semester akhir nanti. Akan ada banyak file yang masuk, namun tidak perlu di hapus secara cepat. Dan ponsel ini aku niatkan untuk menjadi awal mula aku merintis karya secara digital.~
***
Beberapa hari setelah mendapat ponsel baru, aku kembali ke Bandung untuk melakukan eksekusi segala imajinasi. Sudah membuat konsep pemikiran yang dituliskan dalam Power Point, aku menghubungi satu per satu dari mereka, dimulai dari Endang. Tempat tinggalnya yang terdekat membuatku menyuruhnya untuk bermain ke kosanku.
Tutt…Tuttt..WhatsAppnya berdering….
Adam : Dang, sibuk gak?
Endang : Lagi santai sih, gimana?
Adam : Main ke kosan lah euy, ada pembahasan seru nih…
Endang : Wah ada apa nih? Gebetan baru?
Adam : Aishh maneh mah, ini lebih dari soal percintaan….
Endang : Edan bro, oke urang ke kosan bentar lagi
Adam : Mantap, ditunggu…
Dari semua teman kelas yang ada, sosoknya merupakan yang paling mahir dalam soal budidaya, terutama dalam tanaman hortikultura. Aku akan sangat mengandalkannya dalam merangkai cerita tentang apapun yang berhubungan dengan ekosistem hulu di pertanian seperti teknik pemupukan, pembenihan, sampai pemeliharaan tanaman. Apalagi, dirinya terbilang sering mengikuti berbagai pelatihan di luar kampus dan lumayan memiliki jaringan yang luas dengan petani dengan beragam komoditas.