Setelah mengimbangi antara kuliah dan organisasi di semester 5, nampak konten dengan usaha yang lebih ekstra ingin segera dilakukan. Di akhir bulan Oktober 2020, Endang ditawari ketua kelompok petani kopi kenalannya untuk bisa menginap satu malam di kawasan Rancakalong Sumedang, beliau bernama pak Ada. Sebuah tawaran yang aku dan tim menyambutnya dengan baik. Momentum ini merupakan kali kedua kami berkunjung setelah mengambil beberapa sudut kebun kopi pak Ada untuk konten opening Agriviary. Kami berdiskusi setelah beberapa mata kuliah selesai di hari jumat.
“Guys, nanti kita menginap aja di Rancakalongnya, gimana? Kalau mau lihat proses budidaya dari awal untuk bahan konten nanti. Pak Ada suka ngontrol petani kopi dari pagi hari.” ucap Endang.
Iqbal sangat bersemangat mendengarnya, “Mantap, aku sih gaskeun. Gimana yang lain? Terutama para rider motor nih.”
“Iya euy, gimana nih Rafi dan Faisal?” tanyaku pada mereka.
Sayangnya, Faisal dan Raka kebetulan tidak bisa ikut jika harus menginap.
Faisal harus mengantar ibunya bekerja lembur, sedangkan Raka harus membantu sang kakak yang berada di kawasan Dipati Ukur.
“Hampura guys, kalau nginepnya mungkin enggak ikut. Tapi insyaallah nyusul deh ke kebun kopinya kalau sempat.” ucap Faisal yang sebenarnya ingin juga bermalam di rumah pak Ada.
Raka pun sama, “Nah iya tuh, kita nyusul aja hari minggunya. Aku juga mau bantuin kakak dulu.”
“Yo wis gapapa. Berarti berempat yah. Fi, biarin yah jemput Adam ke kosannya dulu?” tanya Endang. Dirinya pasti akan membawa Iqbal karena satu kawasan.
“Oke siap, aman.” ujar Rafi.
Pada malam harinya. Aku sedikit melakukan riset terkait kopi dari Rancakalong. Dari hasil kesimpulan dari berbagai sumber, kopi di bagian kawasan Sumedang ini nampak sudah sangat maju. Sistem hulunya terbilang sudah kuat, dan industri hilir atau pengolahannya banyak tersedia dengan berdirinya berbagai kedai kopi. Bahkan, produk kopi dari Rancakalong ini sudah sering menjadi perwakilan Indonesia di berbagai festival luar negeri.
“Wow, mantap sekali produksi disini, jadi enggak sabar nyobain. Bosen juga beli kopi sachet yang lebih banyak kandungan lainnya.” ucapku yang terkesima dengan hasil riset yang mengandalkan literatur di berbagai sumber media.
Tiba di hari Sabtu, petualangan sederhana yang aku tunggu sudah tiba. Syukurnya, Rafi datang dan menjemputku dengan suka rela.
“Fi, hampura euy harus putar balik dari Jatinangor.” ucapku yang sedikit tidak enak karena sudah merepotkan.
Syukurnya, Rafi memahami kondisiku, “Aman, kalem.”
Tidak lama kemudian, Endang dan Iqbal memanggil dari luar jendela. Aku yang mengenali suara motor itu langsung ke bawah membuka gerbang.
“Gaskeun sekarang nih?” tanyaku yang ingin memastikan apakah langsung berangkat atau mau bersantai sejenak. Barangkali mereka berdua ingin menyeduh kopi lebih dulu.
“Langsung aja sih, ngopinya di rumah pak Ada aja yah. Si Rafi udah kesini kan?” tanya Iqbal.
Aku menunjukan motornya, “Tuh, lagi di kamar urang.”
Mungkin karena mendengar percakapan kami, Rafi ikut turun tangga. Terdengar suara langkah kaki dari atas.
“Berangkat sekarang aja?” tanya Rafi sambil melihat jam yang sudah semakin siang.
Endang menjawabnya, “Ayo sekarang, ngopinya disana aja. Urang udah ngasih tau ke pak Ada kok kita bakal nginep.”
Aku segera mengambil tasku dan membawa beberapa baju dan celana. Tidak lupa juga membawa sarung sendiri, meskipun sebenarnya yakin di rumah pak Ada juga pasti memiliki sarung lebih dari satu. Sepanjang perjalanan, aku membayangkan luas kebun kopi yang terhampar luas sesuai foto-foto yang aku dapat tadi malam. Sepertinya, ini akan menambah wawasan kita sebagai penikmat kopi yang sering melingkar bersama dengan masing-masing seleranya.~
***
Setelah menempuh perjalanan selama 1,5 jam, akhirnya kami tiba di depan rumah pak Ada. Endang turun dari motor dan mengetuk pintu rumah.
“Assalamualaikum ….”
Tidak lama kemudian, seorang ibu yang ternyata istri pak Ada membuka pintu dan menyambut kami dengan suka cita.
“Waalaikumsalam, oh Endang ya?” tanya sang ibu.
Endang menjawab, “Muhun ibu, bapakna aya?”
“Bapak masih di kebun, mungkin sebentar lagi datang.” jawab sang ibu sambil membuka lipatan karpet dan menghamparkannya. Kami memasuki rumahnya dan bersalaman.
“Dang, nanti nginep disini?” tanyaku ke Endang.
Endang menjawab, “Bukan, ada rumah satu lagi. Urang juga belum pernah sih, nanti pas menuju malam mungkin. Sekarang mah disini dulu sambil nunggu pak Ada.”
Meski sudah di sediakan karpet, aku sejenak melangkah keluar rumah untuk merasakan nuansa yang asri oleh rimbun pepohonan. Terlihat beberapa pohon kopi juga tumbuh begitu banyak di pinggir rumahnya.
Saat kami melihat-lihat pekarangan rumah sekitar, tiba-tiba sosok bapak-bapak menggunakan topi masuk ke rumah. Aku merasa itu merupakan sosok pak Ada. Dan benar saja, Endang menghampiri sosok tersebut.
“Assalamualaikum pak,” ucap Endang. Kami pun turut menghampiri dan bersalaman.
“Waalaikumsalam, udah lama sampainya de?” tanya beliau pada Endang.
Endang meresponnya, “enggak pak, baru beberapa menit yang lalu.”
Pak Ada merupakan kawan dari bapaknya Endang. Mereka sering mengikuti berbagai pelatihan dari dinas terkait teknis budidaya dan pemeliharaan, baik dalam skala Kabupaten maupun Provinsi.
“Bapak Sehat de?” tanya pak Ada terkait kondisi bapak Endang.
“Alhamdulillah pak, sehat.”
Namun tiba-tiba, sesuatu yang kami khawatirkan terjadi. Istri pak Ada membawa sebakul nasi dan berbagai lauk pauk ke ruang tamu untuk makan siang kami berempat. Tersirat rasa bahwa kami merepotkan tuan rumah, namun inilah budaya di desa. Tidak perhitungan dan menyambut tamu seperti nasihat kuno yang sering di dengar, bahwa ‘tamu adalah raja’.
“Belum pada makan siang ya? Sok atuh mangga sudah banyak masakannya nih.” ucap pak Ada.
Iqbal meresponnya, “Ya ampun pak, kami jadi ngerepotin.”
“Ah teu nanaon, santai aja. Sok sing banyak makannya.” respon pak Ada dengan santai. Karena memang belum ada yang makan juga, kami berempat mengambil piring masing-masing dan menyantap hidangan itu.
“Udah makan apa mau langsung ke rumah disana aja? Biar lebih leluasa kalian untuk aktivitas lainnya.” tawar pak Ada.
Kami semua saling melirik satu sama lain, sebelum Endang berinisiatif menjawab, “Boleh pak, mangga.”
Setelah makan selesai, kami bergegas ke rumah pak Ada yang satu lagi. Sedikit merasa penat oleh perjalanan yang penuh menghirup udara polusi, seketika terobati oleh perjalanan ke rumah pak Ada yang akan menjadi tempat singgah kami selama satu malam.