Secara umum, aku sudah tau ide pokoknya akan seperti apa. Tapi aku belum menemukan kalimat yang cocok sebagai judul untuk mewakili karya besar ini. Setelah beberapa saat terbuai dalam lamunan, aku putuskan untuk memberikan judul :
“KOLABORASI EKONOMI INDUSTRI KREATIF BERBASIS
AUDIO-VISUAL TERHADAP SENI DALAM BERTANI”
“Udah cocok nih!” gumamku yang semangat dengan judul yang berhasil terbentuk.
Aku memulai karya tulis pertama ini dengan sebuah literatur sejarah dari sebuah halaman blog. Rekam jejak dari sang proklamator Indonesia—Ir. Soekarno yang pernah berpidato pada tanggal 27 April 1952 saat acara peletakan batu pertama pembangunan gedung fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang saat ini menjadi Institut Pertanian Bogor :
“Pangan adalah urusan hidup dan mati suatu bangsa.”
Meski pertama kali menulis dengan tema ini, aku percaya bahwa menyisipkan sejarah sebagai landasan membentuk argumentasi merupakan kekuatan besar untuk menghasilkan solusi yang mampu di terima secara logis.
“Hm, kutipan historis udah, apalagi ya?” ucapku yang berusaha berhati-hati dalam merangkai kata.
Akhirnya, aku memutuskan merangkai sejarah lebih panjang lagi. Sampai akhir paragraf kedua, aku ingin mengingatkan bahwa negeri ini pernah dijajah ratusan tahun atas dasar potensi di sektor agraris. Namun sialnya, petani merupakan profesi yang paling menderita dalam masa itu. Pemberlakuan sistem pajak, metode tanam paksa, dan ketidakadilan lainnya membuat profesi petani tergambar sebagai profesi yang rendah. Aku ceritakan semua itu dengan harapan bisa menyentuh hati dewan juri.
“Selanjutnya mungkin kita paparkan kondisi yang sedang terjadi ….” gumamku yang mencari beberapa sumber untuk bahan acuan.
Memasuki paragraf ketiga hingga tujuh, aku memaparkan realita kehidupan Indonesia saat ini. Aku menuliskan bahwa negeri ini telah mengalami penurunan kualitas sumber daya manusia. Memasuki era yang banyak sekali pencipta konten, sosial media malah banyak mempertontonkan tayangan yang sebenarnya tidak penting untuk ditayangkan. Seperti informasi konflik para selebriti, menyebarkan gosip yang melahirkan fitnah antar tokoh bangsa, hingga mempertontonkan hal konyol dan bodoh yang malah seolah menjadi kebanggaan bagi Bangsa dan Negara. Tentu hal ini bukan perkara kecil, melainkan akan menjadi masalah besar bagi generasi muda sebagai penerus tahta kepemimpinan umat di masa yang akan datang.
Setelah itu, tibalah aku menyisipkan kalimat untuk memperkenalkan apa itu industri kreatif. Aku berusaha hingga akhir bagian latar belakang ini agar bisa menegaskan bahwa beragam profesi di 17 subsektor industri kreatif sangat berpotensi untuk membuat pengaruh yang baik untuk sektor pertanian Indonesia.
Sampai pada akhir latar belakang, aku mengkaji ulang apa yang sudah aku tulis. Rasanya sudah cukup mewakili keresahan yang menjadi hidayah bagiku untuk berkarya secara kreatif.
“Alhamdulillah, rasanya cukup sih segini.” aku rebahan sejenak sambil memikirkan bagaimana merangkai kata-kata bagian isi sampai bagian penutup nanti.
Tapi nampaknya, suasana ini lebih enak untuk tiduran sesaat. Sejenak pikiranku terus mengimajinasikan visual yang seharusnya bisa diwujudkan suatu saat nanti. Tentang komposisi petani yang lebih sinematik dalam kamera, color grading yang variatif, cerita inti sebagai peningkatan nilai tambah, sampai tambahan karakter fiksi secara tiga dimensi, semua itu menghantui pikiranku.
“Ya allah, wujudkanlah imajinasi yang engkau hadirkan ini.” harapku yang sedang mempertaruhkannya dalam kompetisi essay ini.
Di tengah istirahat dan lamunan, aku jadi ingat sebuah nasihat dari sosok Panji Pragiwaksono :
“Jangan Pernah Membunuh Mimpimu, Karena sekeras-kerasnya kamu pukul, sedalam-dalamnya kamu kubur, dia hanya pingsan dan bangkit di usia tua dalam bentuk penyesalan.”~
***
Sudah hampir 5 bulan aku berada di rumah. Selain menjalankan program magang di peternakan ayam di desa sendiri, hari demi hari berjalan dengan pikiran yang fokus pada essay yang sedang dirangkai. Bagian isi hingga penutup aku titikberatkan berdasarkan pemikiran baru dari buku agribisnis kreatif yang sudah aku tamatkan.
Namun entah kenapa, proses menuangkan imajinasi dalam tulisan kali ini rasanya sungguh nikmat. Ada kepuasan yang berbeda ketika berhasil mengukir gagasan dari isi pikiran sendiri ke dalam bentuk aksara melalui Microsoft Word ini.
“Huft, udah cukup kuat belum yah argumentasi ini?” ucapku yang sebenarnya merasa sudah menulis semua yang ada di kepala ini dalam bagian isi.
Dari awal aku menulis, paragraf demi paragraf selalu aku kaji ulang secara mendalam. Entah bagaimana sebenarnya cara menulis essay yang baik dan benar, merangkai kata-kata opini kali ini aku hanya bisa mengandalkan feeling yang semoga itu menjadi panduan dari sang ilahi.
Namun aku percaya bahwa untuk melahirkan karya terbaik dibutuhkan proses yang tenang dan pikiran yang jernih. Sesekali aku pergi sejenak dari hadapan laptop dan ke dapur untuk menyeduh kopi, sambil berharap mendapatkan inspirasi di karya tulis ini.
Saat selesai menyeduh, aku keluar rumah melihat ke arah langit yang rasanya semakin cerah. Terlihat juga di halaman beberapa pohon yang dulunya kecil, kini sudah tumbuh besar. Hantaman pandemi Covid-19 memang telah membuat lingkungan jauh lebih baik. Beberapa berita di beragam media sosial juga menuliskan bahwa polusi udara semakin menurun sejak mayoritas masyarakat bekerja dari rumah.
“Mungkin kalau enggak ada covid jualan cirengku semakin besar yah, tidak banyak menghabiskan waktu di rumah kek gini ….” gumamku saat melamun melihat langit yang terasa jernih.
Hanya beberapa menit saja, aku kembali ke kamar dan memfokuskan pandangan pada maha karya esaay yang akan mencapai bagian akhir. Namun sialnya, aku mengingat sesuatu yang lebih penting dari kompetisi menulis skala nasional ini. Ada tanggung jawab untuk mengurus administrasi dalam agenda Latihan Kepemimpinan dan Manajemen Mahasiswa (LKMM). Program ini diselenggarakan untuk seluruh mahasiswa sosial ekonomi pertanian di wilayah II yang terdiri dari Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta.
“Ya ampun, iya lupa harus siapin LKMM. Semoga bisa segera selesai deh biar langsung submit. Ini acara besar, harus persiapan matang.” ucapku yang menjadi semakin serius menyelesaikan essay ini.
Meski kondisi pandemi belum terlihat tanda-tanda akan berakhir, agenda ini agak dipaksakan untuk terlaksana secara hybrid. Panitia daerah dan pusat harus berkumpul di kampus, sementara peserta pelatihan hadir secara virtual. Untungnya, adik tingkat dari angkatan 2019—Syauqi, telah menjadi ketua pelaksana dari agenda regional tersebut, sehingga membuat bebanku lebih ringan. Kondisi keuanganku yang tidak memungkinkan untuk berada di Bandung sangat terbantu oleh ketersediaannya menjadi pemimpin dalam event ini.
Akhirnya aku membuat target kalau besok essay ini harus sudah submit. Aku kembali membacanya dari awal, merasakan setiap kalimatnya apakah nyambung atau kurang terpadu. Tapi yang menjadi fokus utamaku adalah bagian isi dan penutup. Kedua bagian itu harus mampu menjadi wakil imajinasi visualku yang tertunda.
Tiba di penghujung tulisan, aku merasa semunya sudah mewakili gagasanku, “Alhamdulillah, menangin atuh ya allah ….” meskipun sudah puas, imajinasi akhirku tetaplah Midi Controller.
Tercatat di bawah ujung kiri Microscoft Word bahwa aku sudah mengetik sebanyak 3.754 kata, termasuk daftar pustaka dan biodataku sebagai penulis. Terdiri dari 16 halaman, karya tulis ini menjadi yang terpanjang seumur hidupku.
“Edan men,” gumamku yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat angka-angka itu.
Entah bagaimana hasilnya nanti, yang jelas ini adalah bentuk ikhtiarku untuk meraih eksposure diri yang lebih tinggi serta biaya tanpa sistem kredit yang bisa membuatku membeli berbagai peralatan audio-visual impianku. Sejenak aku berdoa :
“Ya allah, kali ini boleh menang ya, please?”