Aksara 4 Cangkir

Adam Nazar Yasin
Chapter #19

Pertempuran Terakhir

Memasuki bulan April, aku mencoba untuk memulai menggarap skripsi. Aku yang tadinya hanya ingin merantau untuk menemukan arah hidup, kini harus bergulat dengan tantangan akademis yang sangar serius. Ini merupakan gerbang tantangan terakhir menuju tersematkannya gelar sarjana dalam namaku. Meski mengerjakannya secara angin-anginan, aku mencoba konsisten dengan minimal satu hari menulis satu paragraf.

Syukurnya, aku mendapatkan pembimbing yang tidak banyak melahirkan drama, yaitu bu Indra sebagai pembimbing 1 dan bu Yayu sebagai pembimbing 2. Mereka berdua membebaskanku untuk mengambil topik dan judul yang aku suka, serta yang menurutku mudah dilakukan.

Mengikuti saran dari bu Indra, alur yang harus aku tempuh untuk mendapatkan restu penelitian adalah dengan melakukan bimbingan bu Yayu terlebih dahulu, sebelum diakhiri dengan revisi dari bu Indra.

“Adam, nanti kamu prioritaskan dulu untuk disetujui oleh bu Yayu. Setelah itu baru nanti ibu periksa. Kamu rangkai per bab aja nanti, biar kalau revisi lebih detail. Semoga cepat selesai yah, ibu mah tidak akan mempersulit.” ucap bu Indra yang aku temui saat di kampus.

Tanpa memikirkan hal yang lain, aku lantas menyetujuinya, “Baik bu, segera Adam coba mulai kerjakan.”

Berdasarkan pembelajaran metode penelitian di semester 6 yang diajarkan oleh pak Utan, merangkai skripsi harus dilandasi dengan rasa ingin tahu terhadap suatu fenomena. Meskipun aku punya banyak alternatif judul penelitian, aku masih memiliki keterbatasan mobilitas. Tidak memiliki kendaraan membuatku hanya bisa meneliti di sekitar Panyileukan.

“Deuh, susah banget hidup tanpa motor. Kira-kira apa yang bisa aku jadikan judul dan objek penelitian disini?” gumamku yang sedang bersepeda mengitari kawasan Panyileukan. Meskipun sedang mengelola es goyobod, aku tidak tertarik menjadikannya judul penelitian. Aku ingin mencari tahu hal lain agar khazanah pengetahuanku lebih luas.

Namun saat tiba melintasi jalan raya Panyileukan, sebuah lahan di samping kiri jalan yang memiliki saung dan beberapa infrastruktur pertanian menarik perhatianku. Lahan bertuliskan ‘kelompok Tani Ceria RW 02’ membuatku menghentikan ayunan sepeda. Aku berhenti beberapa saat, dan akhirnya terbesit sebuah ide untuk topik penelitian.

“Nah cocok! Urban Farming lagi populer banget sejak muncul pandemi ….” ucapku sambil memotret beberapa sudut lahan tersebut. Melihat kondisi sekitarnya, aku merasa bahwa arah penelitianku nanti akan bermuara pada strategi pengembangan kawasan ini.

Sesampainya di kosan, aku mengirim pesan kepada bu Yayu untuk mengabari kalau aku sudah menemukan topik dan judulnya.

“Assalamualaikum bu Yayu, mohon maaf mengganggu waktunya. Sesuai arahan dari bu Indra kemarin agar lebih dulu konsultasi sama ibu terkait topik dan judul penelitian, Adam ingin mengenai prospek pengembangan urban farming di kawasan Panyileukan. Kira-kira bagaimana bu?” pesanku melalui WhatsApp. Namun pertanyaanku itu hanya terlihat ceklis 1.

Berbeda dengan bu Indra, mengirim pesan pada bu Yayu harus sedikit lebih bersabar dalam menunggu jawaban. Merujuk pada pengalaman Iqbal, beliau sering membalas pesan di waktu orang-orang sudah mematikan kehidupannya sejenak, seperti jam 11 atau 12 malam.

Dan benar, bu Yayu baru membalas pesanku di jam 10 malam lebih.

“Waalaikumsalam, sip kang lanjutkan. Buat dulu bab 1 sampai 3 yah.” pesannya.

Beberapa saat kemudian, Aku membalas pesannya dengan sedikit tertawa dan geleng-geleng kepala, “Baik bu siap. Terima kasih banyak ….”

Meski menulis merupakan passion baru, merangkai skripsi ini nyatanya ada perasaan yang sedikit aneh. Hari-hariku setelah mendapat restu bu Yayu berjalan sangat lambat. Sering kali rasanya tiba-tiba malas meski waku begitu senggang. Terasa seperti kekuatan magis yang kuat untuk membuang waktu lebih lama.

“Sial, kok males gini ya perasaannya?”~

***

Mengimbangi berjualan es goyobod dan mengerjakan skripsi merupakan sebuah fase yang berat. Aku kesulitan merangkai kata dan mencari komposisi teori terbaik untuk disematkan dalam proposal. Apalagi memasuki hari-hari di bulan puasa, es goyobod mengalami penjualan yang meningkat. Aku jadi bisa mengumpulkan uang sebagai antisipasi semakin sedikitnya saudara yang memberikan THR saat lebaran nanti. Dan benar saja, pendapatan THR lebaran tahun ini sangat tipis dibanding masa sekolah dulu. Jumlahnya tidak sampai 500 ribu.

“Yahh, dikit banget. Aku dianggap sudah besar kali yah, hahaha ….” gumamku setelah semua saudara pulang dari rumahku.

Seminggu setelah lebaran, aku kembali ke Bandung. Aku sangat antusias untuk kembali berjualan es goyobod. Rasanya sangat rindu dengan dessert khas tanah sunda itu.

Akan tetapi, sebuah kabar yang maha mengejutkan hadir saat aku tiba di Bandung. Teh Rini dan A Koko memutuskan tidak lagi berjualan es goyobod.

“Assalamualaikum,” aku mengetuk pintu rumahnya yang di dominasi warna putih itu. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dengan beberapa kucingnya ikut keluar.

“Waalaikumsalam, eh Adam ….” sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman.

“minal aidzin walfaidzin ya teh,” ucapku.

Beliau menjawab, “Iya sama-sama, mohon maaf lahir dan batin juga ya dam.”

“A Koko kemana teh?” tanyaku yang tidak melihat sosoknya di rumah.

Teh Rini menjawab sambil menyuguhkan minum, “Lagi keluar dulu dam, paling sore baru datang. Ini dam kalau mau minum, maaf enggak ada apa-apa yah. Lebaran kita di Bogor soalnya.”

“Eh gapapa teh, maaf ngerepotin.” ucapku sedikit sungkan.

Setelah berbincang mengenai banyak hal, Teh Rini memaparkan kenapa dirinya dan sang suami memutuskan berhenti sejenak dari jualan es goyobod.

“Jadi gini dam, sebelumnya teteh sama Aa minta maaf karena Adam enggak bakal jualan lagi. Ternyata pas si Aa kemarin mau belanja bahan-bahan, harganya makin naik. Kayaknya emang imbas dari keputusan BBM yang naik, jadi setelah kita hitung, harga jualnya enggak bakal nutup biaya produksi. Terpaksa kami berdua enggak bisa lanjut dulu jualannya dam.”

Mendengar alasannya, hatiku merasa hancur berkeping-keping. Kenaikan harga bahan baku harus membuatku kehilangan pendapatan utama. Aku juga kesal karena pemerintah kembali mengingkari janjinya. Padahal setiap kampanye, para penguasa itu dengan ringan menjanjikan kestabilan harga, apalagi soal bahan bakar minyak yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

“Oalah, imbas BBM ya teh. Ngeri juga yah.” Responku mendengar alasan teh Rini.

Beliau menambahkan, “Iya dam, apalagi belanja ke Ciwastra tuh juga lumayan cape si Aanya.”

Setelah mendengar itu semua, pikiranku kosong. Ada rasa khawatir kalau skripsiku akan terhambat bila tidak punya pemasukan yang lebih.

Dan setelah beberapa saat, aku pamit untuk kembali ke kosan dan mengerjakan skripsi.

“Teh, Adam pamit dulu yah. Mau lanjut ngerjain skripsi hehe ….”

Beliau menjawab, “Oh iya dam. Semoga lancar sampai wisuda yah.”

“Aamiin ….”

Namun beberapa minggu setelah kembali menganggur, sebuah pintu rezeki telah terbuka dari tempat yang tidak disangka. Salah satu temanku dari prodi Psikologi sekaligus ketua himpunannya---Salman, telah memberikan sebuah informasi lowongan kerja di tempat dirinya bekerja. Tempat itu merupakan angkringan yang pernah aku kunjungi di kawasan Cibiru, yaitu Angkringan Badranaya.

Suatu hari di perpustakaan kampus, aku bertemu dengan Salman. Sebagai sesama pejuang skripsi, kami berbincang mengenai progres tugas akhir kami masing-masing. Namun tanpa disangka, dirinya memberikanku informasi kalau angkringan sedang membutuhkan tambahan orang.

“Man, masih kerja di angkringan?” tanyaku yang sebenarnya hanya iseng saja.

Dirinya menjawab, “berhenti dulu sih dam. Mau pindahan ke tempat baru, dan A Teguh lagi nyari orang juga buat bantuin.”

Mendengar informasi akan pindah lokasi tersebut, aku sedikit kaget. Namun sebuah informasi yang berarti buatku terucap olehnya, sebuah lowongan kerja.

Lihat selengkapnya