Malam itu, di rumah terasa tegang. Aksara duduk di meja makan, menunduk tidak berani menatap ayahnya. Ibunya duduk di sampingnya, diam namun terlihat begitu gelisah. Di seberang meja, Ayahnya menatap lurus ke arah Aksara dengan pandangan dingin, tangan bersedekap di dada. Suara jam dinding terdengar jelas di antara keheningan yang mencekam.
“Aksara Kamu pikir, main motor itu bisa bikin kamu hidup??” tanya Pak Bima dengan nada lemah, namun jelas terasa amarah yang ditahan di balik suaranya.
Aksara hanya menunduk, memandangi piringnya yang kosong. Ia tahu, apapun yang dikatakannya pasti hanya akan memperburuk keadaan malam itu. Setiap kali mereka membahas motor, ayahnya selalu menutup telinga. Baginya, dunia balap hanyalah sebuah ilusi, tidak ada masa depan di sana hanya ada masa yang suran untuk terjadi kecelakaan.
“Ibu sudah bilang sama Ayah,” suara Bu Laila akhirnya terdengar, memecah keheningan. “Aksara punya bakat, Pak.—”
“TIDAK, TAU APA KAMU LAILA!” Pak Bima memotong dengan tegas. “Bakat apa? Bakat untuk celaka? Kamu mau lihat anak kita terluka dan mati, Laila?”
Bu Laila menunduk dan terdiam, tak mampu lagi berkata-kata. Aksara tahu ibunya selalu menjadi penengah antara dirinya dan ayahnya, tapi malam itu, bahkan ibu pun terlihat tak berdaya.
Aksara menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberaniannya. “Yah, aku nggak cuma main-main. Aku serius. Aku mau jadi pembalap profesional yang berkompetisi di kelas dunia.”
Pak Bima mendengus sinis. “Pembalap profesional? Kamu pikir siapa yang akan membiayai mimpi bodoh kamu itu? Keluarga kita ini sederhana, Sar. Kamu nggak bisa hidup dari motor. Itu cuma hobi yang berbahaya.”
Aksara mengepalkan tangannya di bawah meja. Setiap kata ayahnya terasa seperti duri-duri yang menusuk ke dalam dirinya. Dia tahu keluarganya tidak kaya raya, tapi di hatinya, Aksara yakin bahwa ini lebih dari sekadar hobi. Ini adalah mimpi. Sesuatu yang membuatnya merasa hidup.