Aksara Samudera

yhantlies92
Chapter #1

#1. Diagnosa Aksara

Setiap orang tua di belahan dunia manapun selalu menginginkan anaknya terlahir dengan sehat, cerdas, sempurna secara fisik, dan mental. Banyak harapan yang dipanjatkan dalam doa-doa mereka. 

Begitu juga denganku dan Mas Hanung. Kami sangat menginginkan dikaruniai buah hati yang sehat lahir batin. Akan tetapi, apa yang harus kita lakukan jika Tuhan tidak memberikan keinginan tersebut? Mengingkari atau tetap bersyukur? Sedangkan Tuhan itu maha mengetahui, karena Dia memberikan karunia sesuai dengan kemampuan hamba-Nya masing-masing.

***

Januari 2019

Seolah baru saja mendengar ketukan palu hakim yang memvonis hukuman mati bagi pelaku kejahatan, aku dan Mas Hanung terpaku untuk waktu yang lama sekali. Berusaha menerima diagnosis dokter anak yang menyatakan bahwa Aksara menderita Autistic Syndrome Disorder atau biasa disingkat ASD.

“Aksara autis, Dokter?” tanyaku lagi seakan tidak percaya dan berharap dokter itu salah mendiagnosa Aksara.

“Nggak mungkin. Nggak mungkin cucu saya menderita autis, lha wong anaknya keliatan normal gitu, kok. Dokter pasti salah diagnosis,” protes Bu Irmawati, ibu mertuaku.

Wanita cantik yang memakai jas putih khas seorang dokter memandangku dan Ibu Mertua secara bergantian. Aku melihatnya sedang menarik napas begitu Ibu Mertua bertanya seperti itu.

“Memang, secara fisik Aksara terlihat seperti anak normal lainnya. Akan tetapi, coba ibu perhatikan lagi sikapnya. Ada beberapa ciri autis yang sudah saya jelaskan ada pada sikap Aksara,” jawab dokter itu tersenyum kepada kami.

Aku dan Mas Hanung saling menatap lalu berpindah kepada Aksara yang sedang menjejerkan mainan yang ada di ruang pemeriksaan ini. Sebagai ibunya, aku masih tidak percaya dengan diagnosis dari dokter itu. Gejolak kesedihan mulai kurasakan. Pandanganku tertutup oleh bening air mata yang tidak lama lagi bersiap keluar dari bendungannya. Terlebih lagi dengan Ibu Mertua, wajahnya tampak pucat pasi, terkejut, seolah baru saja kembali dari lembah hitam.

Sedangkan Mas Hanung, dia sedari tadi terus menggenggam tanganku dan mengelus punggung tangan ini. Aku tahu dia melakukan itu untuk menguatkan hatiku atas apa yang sudah Tuhan berikan kepada putra pertama kami.

“Kalau Bapak dan Ibu masih ragu, silakan bawa anak Anda ke dokter lain untuk mendapatkan opsi kedua,” saran dokter seraya tersenyum pada kami. Dia tahu kamu dalam keadaan syok.

“Jadi, cucu saya tidak bisa hidup normal seperti anak-anak yang lain?”

Mendengar Ibu Mertua bertanya seperti itu, aku hanya bisa menunduk. Dari nada bicara aku paham bahwa Ibu Mertua kecewa dengan hasil diagnosis Aksara.

“Saya belum bisa memastikan. Hal itu tergantung dari seberapa parah autisme cucu Ibu. Bapak dan Ibu bisa saya rujuk ke bagian rehab medik, di sana Aksara dapat mengejar ketertinggalannya dengan menjalani terapi. Terapi berguna bagi anak penyandang autisme untuk bisa hidup layaknya anak normal lainnya.”

Dokter berusaha menerangkan dengan bahasa yang mudah untuk kami mengerti. Dari sorot matanya aku melihat dokter itu peduli pada kami. Akan tetapi, aku hanya khawatir dengan kondisi Ibu Mertuaku. Aku merasa beliau sedikit kecewa dengan penjelasan dari dokter. 

“Terapi, Dok?” tanyaku lagi. Dan dokter bernama Rima itu mengangguk.

Lihat selengkapnya